BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya karena mempunyai arti yang amat
penting dalam penghidupan dan hidup manusia sebab tanah bukan saja sebagai
tempat berdiam juga tempat bertani, lalu lintas, perjanjian dan pada akhirnya
tempat manusia berkubur. Selain itu tanah memiliki lima jenis rent yaitu rent ricardian, rent
lokasi, rent lingkungan, rent sosial, rent politik yang menyebabkan tanah dapat
memberi manfaat kepada manusia.
Sebagaimana
diketahui sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria berlaku bersamaan dua
perangkat hukum tanah di Indonesia
(dualisme). Satu bersumber pada hukum adat disebut hukum tanah adat dan yang
lain bersumber pada hukum barat disebut hukum tanah Barat. Dengan berlakunya
hukum agraria yang bersifat nasional (UU No. 5 Tahun 1960) maka terhadap
tanah-tanah dengan hak barat maupun tanah-tanah dengan hak adat harus dicarikan
padanannya di dalam UUPA. Untuk dapat masuk ke dalam sisem dari UUPA
diselesaikan dengan melalui lembaga konversi.
Konversi
adalah pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk
masuk sistem dalam dari UUPA (A.P. Parlindungan, 1990 : 1).
Untuk
terjaminnya hak atas tanah maka oleh MPR dalam Repelita III telah digariskan
suatu program yang harus dilaksanakan dalam pembangunan bidang pertanahan,
yaitu : “Agar pemanfaatan tanah harus sungguh-sungguh membantu usaha untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial,
sehubungan dengan itu perlu dilanjutkan dan makin ditingkatkan penataan kembali
penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah termasuk pengalihan hak atas tanah”.
Adapun sarana pokok yang diperlukan untuk menjamin hak atas tanah adalah
penataan kembali pemilikan tanah melalui pendaftaran tanah.
Pendaftaran
tanah merupakan hal yang penting sebagai bukti hak yang kuat terhadap hak atas
tanah untuk membuktikan sebagai pemilik hak atas tanah secara sah. Di
samping itu pendaftaran tanah yang ditentukan dalam
pasal 19 UUPA (UU No. 5 / 1960) merupakan sasaran untuk mengadakan
kesederhanaan hukum.
Tentang
pendaftaran tanah lebih lanjut dijelaskan dalam penjelasan umum angka III
alenia terakhir UU No. 5/1960 yang berbunyi : “Adapun hak-hak yang pada mula
berlakunya undang-undang ini semua akan dikonversikan menjadi salah satu hak
yang baru menurut UUPA”.
Jadi semua tanah
baik yang dimiliki atas nama seseorang atau Badan Hukum, baik hak milik adat
atau hak atas tanah menurut buku II KUHPerdata diwajibkan untuk dikonversi
kepada salah satu hak-hak atas tanah menurut UUPA dan didaftarkan sehingga
terwujud unifikasi dan kesederhanaan hukum dalam hukum pertanahan Indonesia
sesuai dengan tujuan dari UUPA. Bahkan dalam Pasal 41 PP No. 10 tahun 1961 dan
Pasal 63 PP. No. 24 Tahun 1997 akan memberikan sanksi bagi yang terlambat atau
lalai untuk melakukan pendaftaran, baik pendaftaran tanah maupun pendaftaran
hak atas tanah yang diakui sebelum berlakunya UUPA.
Setelah
berlakunya UUPA dan PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran tanah dan kemudian
telah diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997 tidak mungkin lagi diterbitkan
hak-hak yang akan tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ataupun yang
akan tunduk kepada hukum adat setempat kecuali menerangkan bahwa, hak-hak
tersebut merupakan hak adat.
Mengingat
pentingnya pendaftaran hak milik adat atas tanah sebagai bukti kepemilikan hak
atas tanah secara sah sesuai dengan Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA maka
diberikan suatu kewajiban untuk mendaftarkan tanah adat khususnya hak milik
adat.
B.
Perumusan Masalah
Dari uraian di
atas yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah Bagaimana pendaftaran
hak-hak atas tanah adat menurut kententuan konversi dan PP No. 24 tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tentang Konversi
1. Pengertian dan Landasan Hukum Konversi
a. Pengertian Konversi
Beberapa ahli hukum memberikan pengertian konversi
yaitu : A.P. Parlindungan (1990 : 1) menyatakan : “Konversi itu sendiri adalah
pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk
dalam sistem dari UUPA”.
Boedi Harsono (1968 : 140) menyatakan :
“Konversi adalah perubahan hak yang lama menjadi satu hak yang baru menurut
UUPA”.
Dari rumusan di atas maka dapat disimpulkan bahwa
konversi hak-hak atas tanah adalah penggantian/perubahan hak-hak atas tanah
dari status yang lama yaitu sebelum berlakunya UUPA menjadi status yang baru,
sebagaimana diatur menurut UUPA itu sendiri, adapun yang dimaksud dengan
hak-hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA adalah hak-hak atas tanah yang
diatur dan tunduk pada hukum adat dan hukum Barat (BW).
Terhadap pelaksanaan konversi itu
sendiri Prof. DR. A.P. Parlindungan, SH memberikan komentar sebagai berikut :
“Bahwa pelaksanaan konversi itu
sendiri merupakan sesuatu yang boleh dikatakan sangat drastis, oleh karena
sekaligus ingin diciptakan berkembangnya suatu unifikasi hukum keagrariaan di
tanah air kita, sunggupun harus diakui persiapan dan peralatan, perangkat hukum
maupun tenaga trampil belumlah ada sebelumnya”.
Walaupun pada kenyataannya UUPA
telah melakukan perombakan yang mendasar terhadap sistem-sistem agraria,
terdapat dalam bagian kedua dari UUPA adalah merupakan suatu pengakuan terhadap
adanya jenis-jenis hak atas tanah yang lama, walaupun hak tersebut perlu
disesuaikan dengan hak-hak yang ada dalam UUPA, sehingga dengan demikian tidak
bertentangan dengan jiwa dan filosofi yang terkandung dalam UUPA.
b. Landasan Hukum Konversi
Adapun yang menjadi landasan
hukum konversi terhadap hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA
tanggal 24 September 1960 adalah bagian kedua dari UUPA “tentang
ketentuan-ketentuan konversi yang terdiri IX pasal yaitu dari pasal I sampai
dengan pasal IX”, khususnya untuk konversi tanah-tanah yang tunduk kepada hukum
adat dan sejenisnya diatur dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII
ketentuan-ketentuan konversi, di samping itu untuk pelaksanaan konversi yang
dimaksud oleh UUPA dipertegaskan lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri
Pertanian dan Agraria Nomor 2 tahun 1962 dan SK Menteri Dalam Negeri Nomor
26/DDA/1970 yaitu “tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak
Indonesia atas tanah”.
Beberapa ketentuan-ketentuan
konversi hak atas tanah adat :
Pasal II Ketentuan konversi berbunyi
:
ayat 1 : Hak-hak atas tanah yang
memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 20
ayat 1, seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai
berlakunya undang-undang ini, yaitu hak agrarisch eigendom, milik,
yayasan, andarbeni hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant
sultan, landirijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas
bekas tanah partikilir dan hak-hak lain dengan nama apapun, juga
yang akan ditegaskan
lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya undang-undang ini
menjadi hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat (1), kecuali jika yang
mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21.
ayat 2 : Hak-hak tersebut dalam
ayat 1 kepunyaan orang asing warga negara yang disamping kewarganegaraan
Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak
ditunjuk oleh pemerintah sebagai yang dalam Pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna
usaha atau hak guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, sebagai yang
akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
Terhadap Pasal II ketentuan
konversi ini ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 19 dan Pasal 22 Peraturan
Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1980 dan dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 2
tahun 1962, sehubungan dengan hal tersebut maka jelaslah bahwa untuk
pengkonversian dari hak-hak yang disebut dalam Pasal II ketentuan konversi
diperlukan tindakan penegasan :
a. Mengenai yang mempunyainya, untuk memperoleh
kepastian apakah akan dikonversi menjadi hak milik atau tidak.
b. Mengenai peruntukan tanahnya, jika ternyata
konversinya tidak bisa menjadi hak milik.
Penegasan tersebut diperlukan karena konversi dari
pada hak tersebut di atas disertai syarat-syarat yang bersangkutan dengan status
yang empunya dan sifat penggunaan tanah pada tanggal 24 September 1960.
Pasal VI ketentuan konversi berbunyi :
“Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana
atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 41 ayat 1 seperti yang disebut
dengan nama sebagai di bawah yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini
yaitu : hak vruchtgebruik, gebruik, grant countroleur, bruikleen, ganggam
bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama
apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak
berlakunya undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 yat (1),
yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai undang-undang
ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
undang-undang ini”.
Dari bunyi Pasal VI ketentuan konversi tersebut maka
hak-hak atas tanah seperti ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh,
pituwas yang berasal dari hukum adat dikonversikan menjadi hak pakai.
Pasal VI ketentuan konversi berbunyi :
Ayat 1 : Hak gogolan, pukulen atau sanggan yang
bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak
milik tersebut pada Pasal 20 Ayat (1).
Ayat 2 : Hak gogolan, pekulen atau sanggan
yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai terebut pada Pasal 41 ayat (1),
yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang haknya
pada mulai berlakunya undang-undang ini”.
Ayat 3 : Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak
gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap atau tidak tetap, maka menteri
agrarialah yang memutuskan.
Lebih lanjut tentang hak gogolan, pekulen atau sanggan
diatur dalam Pasal 20 Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1960 yang
berbunyi :
(1) . Konversi hak-hak gogolan, pekulen atau sanggan
yang bersifat tetap menjadi hak milik sebagai yang dimaksud dalam Pasal VII
ayat (1) Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria dilaksanakan
dengan surat
keputusan penegasan Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan.
(2) . Hak gogolan, sanggan atau pekulen bersifat tetap
kalau para gogol terus menerus mempunyai tanah gogolan yang sama dan jika
meninggal dunia gogolnya itu jatuh pada warisnya tertentu.
(3). Kepala Infeksi Agraria menetapkan surat keputusan tersebut
pada ayat (1) pasal ini dengan memperhatikan pertimbangan sifat tetap atau
tidak tetap dari hak gogolan itu menurut kenyataannya.
(4). Jika ada perbedaan pendapat antara Kepala
Inspeksi Agraria dan Bupati/Kepala Daerah tentang soal apakah sesuatu hak
gogolan bersifat tetap atau tidak tetap, demikian juga jika desa yang
berangkutan berlainan pendapat dengan kedua penjabat tersebut, maka soalnya
dikemukakan lebih dahulu kepada Menteri Agraria untuk mendapat keputusan.
Dalam keputusan bersama Menteri Pertanian dan Agraria
serta Menteri Dalam Negeri No. SK 40/Ka/1964/DD/18/18/1/32 “tentang penegasan
konversi hak gogolan tetap”, tertanggal 14 April 1964 yang menyatakan bahwa hak
gogolan tetap (sanggan/pekulen) dikonversikan menjadi hak milik karena hukum
sejak tanggal 24 September 1960 dan sejak itu hak tersebut tidak lagi tunduk
kepada ketentuan-ketentuan peraturan gogolan, melainkan kepada peraturan
agraria.
Lebih lanjut ketentuan-ketentuan tentang konversi
dalam UUPA ditegaskan lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian
dan Agraria No. 2 tahun 1962 dan SK. Menteri Dalam Negeri No. 26/DDA/1970.
Permohonan konversi dari tanah-tanah yang pernah
tunduk kepada :
a. Peraturan Menteri Agraria No.
9 tahun 1958.
b. Hak atas tanah yang didaftar
menurut Stb. 1873 No. 38, yaitu tentang agrarisch eigendom.
c. Peraturan-peraturan yang
khusus di daerah Yokyakarta, Surakarta, Sumatera Timur, Riau dan Kalimantan
Barat.
Dalam pelaksanaan konversinya
diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan dengan
disertai tanda bukti haknya (kalau ada disertakan pula surat ukurnya), tanda
bukti kewarganegaraan yang sah dari yang mempunyai hak yang menyatakan
kewarganegaraannya pada tanggal 24 September 1960 dan keterangan dari pemohon
apakah tanahnya tanah perumahan atau tanah pertanian.
Pasal 3 PMPA No. 2 tahun 1962 :
Pasal ini mengatur tentang hak-hak yang tidak
diuraikan dalam sesuatu surat
hak tanah, maka oleh yang bersangkutan dijaukan :
a. Tanda bukti haknya, yaitu bukti surat
pajak hasil bumi/verponding Indonesia
atau bukti surat pemberian hak oleh Instansi
yang berwenang (kalau ada disertakan pula surat
ukurnya).
b. Surat keterangan Kepala Desa yang dikuatkan
oleh asisten Wedana (Camat) yang :
1. Membenarkan surat atau surat
bukti hak itu.
2. Menerangkan apakah tanahnya
tanah perumahan atau tanah pertanian.
3. Menerangkan siapa yang
mempunyai hak itu, kalau ada disertai turunan surat-surat jual beli tanahnya.
c. Tanda bukti kewarganegaraan yang sah dari yang
mempunyai hak.
Dari ketentuan Pasal 3 ini, maka
khusus untuk tanah-tanah yang tunduk kepada Hukum Adat tetapi tidak terdaftar
dalam ketentuan konversi sebagai tanah yang dapat dikonversikan kepada sesuatu
hak atas tanah menurut ketentuan UUPA, tetapi diakui tanah tersebut sebagai hak
adat, maka ditempuhlah dengan upaya “Penegasan Hak” yang diajukan kepada Kepala
Kantor Pendaftaran Tanah setempat dikuti dengan bukti pendahuluan seperti bukti
pajak, surat jual-beli yang dilakukan sebelum berlakunya UUPA dan surat
membenarkan tentang hak seseorang dan menerangkan juga tanah itu untuk
perumahan atau untuk pertanian dan keterangan kewarganegaraan orang yang
bersangkutan.
Pasal 7 PMPA No. 2 tahun 1962 :
Dalam pasal ini diatur lembaga
konversi lain dinamakan “Pengakuan Hak”, yang perlakuan atas tanah-tanah yang
tidak ada atau tidak ada lagi tanda bukti haknya, maka yang bersangkutan dapat
mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah Pertanahan setempat,
permohonan tersebut diumumkan 2 bulan berturut-turut di kantor pendaftaran
tanah dan kantor Kecamatan, jika tidak diterima keberatan mereka membuat
pernyataan tersebut kepada kantor BPN dan kemudian mengirimkannya kepada Kepala
Kantor Wilayah Pertanian setempat, penerbitan pengakuan hak diberikan oleh
Kepala Kantor Wilayah BPN, dari SK pengakuan hak tersebut sekaligus
mempertegaskan hak apa yang diberikan/padanan pada permohonan tersebut, bisa
saja hak milik, hak guna usaha, atau hak guna bangunan atau hak pakai (A.P.
Parlindungan ; 1990 : 42).
Sedangkan pada Surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri No. Sk 26/DDA. 1970 sebagai penjelasan dari peraturan Menteri
Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 dalam diktum pertamanya : menegaskan
bahwa yang dianggap sebagai “tanda bukti hak” dalam Pasal 3 huruf a PMPA No. 2
tahun 1962 adalah :
a. Didaerah-daerah dimana sebelum tanggal 24 September
1960 sudah dipungut pajak (hasil) bumi (landrente) atau verponding Indonesia.
1. Surat pajak (hasil) bumi atau verponding Indonesia
yang dikeluarkan sebelum tanggal 24 September 1960, jika antara tanggal 24
September 1960 dan saat mulai diselenggarakan pendaftaran tanah menurut
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 terjadi pemindahan hak (jual-beli, hibah
atau tukar-menukar) maka selain surat pajak yang dikeluarkan sebelum tanggal 24
September 1960 tersebut di atas wajib disertakan juga surat-surat asli
jual-beli, hibah atau tukar menukarnya yang sah (dibuat di hadapan dan
disaksikan oleh Kepala Desa/adat yang bersangkutan).
2. Surat Keputusan pemberian hak oleh Instansi yang
berwenang, disertai tanda-tanda buktinya bahwa kewajiban-kewajiban yang
disebutkan di dalam surat
keputusan itu telah dipenuhi oleh yang menerima hak.
b. Di daerah-daerah dimana sampai tanggal 24 September
1960 belum dipungut pajak (hasil) bumi (landrente) atau verponding Indonesia.
1. Surat-surat asli jual-beli, hibah atau tukar
menukar yang dibuat dihadapan dan disaksikan oleh Kepala Desa/Adat yang
bersangkutan sebelum diselenggarakannya pendaftaran tanah menurut peraturan
pemerintah No. 10 tahun 1961 di daerah tersebut.
2. Surat Keputusan pemberian hak oleh Instansi yang
berwenang, disertai tanda-tanda buktinya bahwa kewajiban-kewajiban yang
disebutkan di dalam surat
keputusan itu telah dipenuhi oleh yang menerima hak.
Dengan
demikian dapat disimpulan bahwa seluruh hak-hak atas tanah yang ada sebelum
berlakunya UUPA melalui lembaga konversi masuk kedalam sistem UUPA melalui
padanannya dan setelah itu diperlakukan seluruh ketentuan-ketentuan UUPA dengan
tidak perlu lagi menyebut bahwa tanah itu bekas sesuatu hak yang ada sebelum
UUPA.
2. Objek dan Tujuan Konversi
a. Objek konversi
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa hak atas
tanah sebelum berlakunya UUPA terdiri dari hak-hak yang tunduk pada hukum adat
dan hak-hak yang tunduk pada hukum barat.
Adapun hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat
adalah :
1. Hak agrarisch egeidom
Lembaga agrarisch egeidom ini adalah usaha dari
Pemerintah Hindia Belanda dahulu untuk mengkonversi tanah hukum adat, baik yang
berupa milik perorangan maupun yang ada hak perorangannya pada hak ulayat dan
jika disetujui sebagian besar dari anggota masyarakat pendukung hak ulayatnya,
tanahnya dikonversikan menjadi agrarisch ageidom.
2. Tanah hak milik, hak Yasan, adar beni, hak atas
druwe, hak atas druwe desa, pesini.
Istilah dan
lembaga-lembaga hak atas tanah ini merupakan istilah lokal yang terdapat di
Jawa.
3. Grant Sultan yang terdapat di daerah Sumatra Timur
terutama di Deli yang dikeluarkan oleh Kesultanan Deli termasuk bukti-bukti hak
atas tanah yang diterbitkan oleh para Datuk yang terdapat di sekitar Kotamadya
Medan. Di samping itu masih ada lagi yang disebut grant lama yaitu bukti hak
tanah yang juga dikeluarkan oleh Kesultanan Deli.
4. Landrerijen bezitrecat, altijddurende erfpacht,
hak-hak usaha atas bekas tanah partikelir.
Selain tanah-tanah yang disebut di atas yang tunduk
pada hukum adat ada juga hak-hak atas tanah yang lain yang dikenal dengan nama
antara lain ganggan bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituas dan lain-lain.
b. Tujuan konversi
Dengan diberlakukannya UUPA (UU No. 5/1960) yang
menganut asas unifikasi hukum agraria, maka hanya ada satu sistem hukum untuk
seluruh wilayah tanah air, oleh karena itu hak-hak atas tanah yang ada sebelum
UUPA harus disesuaikan atau dicari padanannya yang terdapat di dalam UUPA
melalui lembaga konversi.
Jadi dengan demikian tujuan dikonversinya hak-hak atas
tanah pada hak-hak atas tanah menurut sistem UUPA di samping untuk terciptanya
unifikasi hukum pertanahan di tanah air dengan mengakui hak-hak atas tanah
terdahulu untuk disesuaikan menurut ketentuan yang terdapat di dalam UUPA dan
untuk menjamin kepastian hukum, juga bertujuan agar hak-hak atas tanah itu
dapat berfungsi untuk mempercepat terwujudnya masyarakat adil dan makmur
sebagaimana yang dicita-citakan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat
(3).
B. Tentang Pendaftaran Tanah
1. Pengertian dan Landasan Hukum
Pendaftaran Tanah
a. Pengertian Pendaftaran Tanah
Pendaftaran
tanah adalah suatu kegiatan administrasi yang dilakukan pemilik terhadap hak
atas tanah, baik dalam pemindahan hak ataupun pemberian dan pengakuan hak baru,
kegiatan pendaftaran tersebut memberikan suatu kejelasan status terhadap tanah.
Dalam Pasal 1 PP No. 24 tahun 1997 disebutkan
pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan
pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang tanah yang
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera
Utara 8
sudah ada haknya dan hak milik atas rumah
susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Pendaftaran tanah dapat dilakukan melalui pendaftaran
tanah secara sistematis dan sporadis yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang
dilakukan secara serentak yang meliputi semua bidang tanah di suatu wilayah
atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan, baik tanah dipunyai dengan suatu hak
atas tanah maupun tanah negara. Yang dimaksud dengan suatu hak adalah hak atas
tanah menurut hukum adat dan hak atas tanah menurut UUPA.
b. Landasan Hukum Pendaftaran Tanah
Dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria, maka
dualisme hak-hak atas tanah dihapuskan, dalam memori penjelasan dari UUPA
dinyatakan bahwa untuk pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud Pasal 19 UUPA,
yang ditujukan kepada pemerintah agar melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh
wilayah Indonesia yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum yang bersifat
Recht Kadaster, untuk menuju kearah pemberian kepastian hak atas tanah telah
diatur di dalam Pasal 19 UUPA yang menyebutkan :
(1). Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah
diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2). Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini
meliputi :
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan
hak-hak tersebut.
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat.
(3). Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan
mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi
serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria.
(4). Dalam Peraturan Pemerintah diatas biaya-biaya
yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat 1 diatas, dengan
ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya
tersebut.
Kalau di atas ditujukan kepada pemerintah, sebaliknya
pendaftaran yang dimaksud Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA ditujukan kepada
para pemegang hak, agar menjadikan kepastian hukum bagi mereka dalam arti untuk
kepentingan hukum bagi mereka sendiri, di dalam Pasal tersebut dijelaskan :
Pasal 23 UUPA :
Ayat 1 :
Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan
hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam
Pasal 19.
Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 2 merupakan
alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan
dan pembebanan hak tersebut.
Pasal 32 UUPA :
Ayat 1 :
Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap
peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan
yang dimaksud dalam Pasal 19.
Ayat 2 :
Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai
peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena
jangka waktunya berakhir.
Pasal 38 UUPA :
Ayat 1 :
Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap
peralihan dan hapusnya dak tersebut harus didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
Ayat 2 :
Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai
hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan tersebut, kecuali dalam hal
hak itu hapus karena jangka waktunya berakhirnya.
Dari ketentuan pasal-pasal di atas dapatlah
disimpulkan bahwa pendaftaran yang dilakukan oleh pemegang hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan adalah merupakan alat pembuktian yang kuat serta untuk
sahnya setiap peralihan, pembebanan dan hapusnya hak-hak tersebut.
2. Tujuan Pendaftaran Tanah
Usaha yang menuju kearah kepastian hukum atas tanah
tercantum dalam ketentuan-ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur tentang
pendaftaran tanah, dalam pasal 19 UUPA disebutkan untuk menjamin kepastian
hukum dari hak-hak atas tanah, UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan
pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat ‘Rech
Kadaster” artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum, dengan di
selenggarakannya pendaftaran tanah, maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan
mudah dapat mengetahui status hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya,
letak, luas dan batas-batasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa yang
melekat di atas tanah tersebut.
Menurut para ahli disebutkan tujuan pendaftaran ialah
untuk kepastian hak seseorang, disamping untuk pengelakkan suatu sengketa perbatasan
dan juga untuk penetapan suatu perpajakan. (A.P. Parlindungan; 1990 : 6).
a. Kepastian hak seseorang
Maksudnya dengan suatu pendaftaran, maka hak seseorang
itu menjadi jelas misalnya apakah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan
atau hak-hak lainnya.
b. Pengelakkan suatu sengketa perbatasan
Apabila sebidang tanah yang dipunyai oleh seseorang
sudah didaftar, maka dapat dihindari terjadinya sengketa tentang perbatasannya,
karena dengan didaftarnya tanah tersebut, maka telah diketaui berapa luasnya
serta batas-batasnya.
c. Penetapan suatu perpajakan
Dengan diketahuinya berapa luas sebidang tanah, maka
berdasarkan hal tersebut dapat ditetapkan besar pajak yang harus dibayar oleh
seseorang.
Dalam lingkup yang lebih luas dapat dikatakan pendaftaran
itu selain memberi informasi mengenai suatu bidang tanah, baik penggunaannya,
pemanfaatannya, maupun informasi mengenai untuk apa tanah itu sebaiknya
dipergunakan, demikian pula informasi mengenai kemampuan apa yang terkandung di
dalamnya dan demikian pula informasi mengenai bangunannya sendiri, harga
bangunan dan tanahnya, dan pajak yang ditetapkan.
Untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti tersebut di
atas, maka untuk itu UUPA melalui pasal-pasal pendaftaran tanah menyatakan
bahwa pendaftaran itu diwajibkan bagi pemegang hak yang bersangkutan.
C. Pendaftaran Hak atas Tanah
Adat Menurut Ketentuan Konversi dan PP N. 24 Tahun 1997.
Pendaftaran hak atas tanah
menurut Pasal 19 UUPA ditujukan kepada pemerintah agar melakukan pendaftaran
tanah-tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, sebaliknya pendaftaran
menurut Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA adalah ditujukan kepada para
pemegang hak agar menjadikan kepastian hukum mereka sendiri, karena pendaftaran
atas setiap peralihan, penghapusannya dan pembebanannya akan banyak menimbulkan
komplikasi hukum jika tidak didaftar, pada hal pendaftaran itu merupakan bukti
yang kuat sebagaimana disyaratkan Pasal 23 ayat 1 bahwa hak milik demikian pula
setiap peralihan hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus
didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA,
begitupun dengan hak guna usaha (Pasal 32 UUPA) dan hak guna bangunan (Pasal 38
UUPA), termasuk syarat-syarat pemberiannya demikian pula setiap peralihan dan
penghapusan hak tersebut harus didaftar.
Dari bunyi pasal 19 UUPA tersebut maka dapat kita
simpulkan bahwa UUPA telah memerintahkan kepada pemerintah untuk melaksanakan
pendaftaran tanah dan untuk itu diperlukan suatu Peraturan Pemerintah, sebagai
implementasi dari pasal 19 UUPA tersebut dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah
Nomor 10 tahun 1961 yaitu tentang pendaftaran tanah yang kemudian telah diganti
dengan PP No. 24 Tahun 1997. Produk hukum terakhir ini sama sekali tidak
merubah prinsip-prinsip dasar yang telah dikembangkan oleh Paal 19 UUPA dan PP
10 Tahun 1961. Dengan adanya PP No. 24 tahun 1997 maka berlakulah suatu
pendaftaran tanah yang uniform untuk seluruh wilayah Indonesia, yang mencakup
hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum Barat dan hukum Adat semuanya
diseragamkan artinya bukti-bukti ex BW (burgerlijk wetboek) harus
dikonversikan kepada sistem yang diatur
oleh UUPA begitu juga terhadap tanah-tanah adat yang sudah terdaftar maupun
yang belum terdaftar.
PP No. 24 Tahun 1997 mengakui dengan jelas kedudukan
hak milik adat baik bersifat perorangan atau kelompok. Untuk membuktikan hak
milik adat masih diakui, pada waktu pendaftaran hak atas tanah secara
sistematis sebagai bukti hak atas tanah adat, yaitu :
1. Surat
tanda bukti hak milik dan Grant Sultan yang dikeluarkan berdasarkan peraturan
Swapraja dan hak atas tanah yang lainnya yang diakui selama tidak bertentangan
dengan UUPA.
2. Akta pemindahan hak dibuat berdasarkan hukum adat
yang dibubuhi kesaksian oleh kepala desa.
Pasal 24 ayat (1) No. 24 Tahun 1997 menyebutkan
tentang tata cara pembuktian hak-hak lama untuk keperluan pendaftaran yang
berasal dari konversi dengan :
a. bukti-bukti tertulis
b. keterangan saksi dan/atas pernyataan yang
bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi, bagi pendaftaran
secara sporadik cukup untuk mendaftarkan hak.
Pada ayat (2) dikatakan, apabila pembuktian di atas
tidak ada lagi, maka pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan
penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih
berturut-turut oleh pemohon pendaftaran tanah dengan syarat :
1. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik
dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah serta
diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.
2. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama
pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan
yang bersangkutan atau pihak lain (Chadidjah Dalimunthe, 2000 : 136 – 137).
Sehubungan dengan kegiatan pendaftaran tanah dan
pemberian sertifikat tanah oleh Pemerintah, maka dikeluarkan Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 16 Tahun 1975 (PMDN No. 16/1975), tentang kegiatan pendaftaran
tanah dan pemberian sertifikat dalam pengukuran desa demi desa menuju desa
lengkap sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 yang telah diganti
dengan PP No. 24 Tahun 1997. Pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 16 tahun 1975 dan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, maka
pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/kepala Badan
Pertahanan Nasional No. 3 Tahun 1995 yaitu untuk melaksanakan pendaftaran
secara sistematis baik tanah yang bersertifikat maupun yang belum
bersertifikat.
Pasal 16 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1995 mengatur tentang pendaftaran tanah baik
yang memilki bukti hak atas tanah secara tertulis maupun bukti tidak tertulis
yaitu penguasaan fisik
e-USU Repository ©2004
Universitas Sumatera Utara 12
atas sebidang tanah.
Adapun bukti tertulis tersebut yang berlaku terhadap tanah adat, adalah ;
1. Keterangan hak milik adat dikeluarkan Daerah Swapraja
2. Grant Sultan
3. Akta pemindahan hak berdasarkan hukum adat
4. Girik.
Untuk melakukan pendaftaran tanah secara sistematik
terhadap hak atas tanah yang tunduk kepada Hukum Adat dengan bukti hak atas
tanah tersebut di atas, hal ini tidak terlepas dengan konversi terhadap hak
atas tanah. Adapun hak yang dikonversi berlaku terhadap hukum adat dalam
pendaftaran tanah, yaitu :
1. Hak milik adat
2. Grant Sultan
3. Grant lama
4. Girik
5. Hak Agrarisch eigendom
6. Hak Druwe dan Pesini
7. Hak Usaha Gogolan
8. Hak gogolan tak tetap, Pekulen dan Grant C dan D
9. Tanah Bengkok
Untuk konversi dan pendaftaran hak atas tanah yaitu
Hak milik adat, Grant Sultan, Grant lama, Girik, Hak Agrarisch Eigendom, Hak
Druwe, Hak Pesini dan Hak Usaha Gogolan dikonversikan menjadi hak milik atas
tanah sebagaimana menurut Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria.
Sedangkan hak gogolan tak tetap, hak pekulen dan Grant C dan D dikonversikan
menjadi hak pakai privat dan untuk tanah bengkok akan dikonversi menjadi hak
pakai khusus.
Pelaksanaan pendaftaran tanah baik dilakukan
tersendiri (permohonan individu) maupun dilakukan secara sistematis (massal) terhadap
hak atas tanah yang tunduk kepada hukum adat yang memiliki bukti baik tertulis
maupun tidak tertulis, sebelum didaftarkan harus dikonversi. Pelaksanaan
konversi hak atas tanah dilakukan oleh Panitia Pendaftran ajudikasi yang
bertindak atas nama Kepala Kantor Pertanahan Nasional (BPN). Sedangkan untuk
tanah yang tidak mempunyai bukti tertulis dalam pendaftaran tanah secara
sistematis dilakukan dengan proses pengakuan baik.
Pelaksanaan konversi dan pengakuan hak terhadap hak
atas tanah adat oleh Pemerintah dibentuk format yang baku oleh Badan Pertanahan Nasional. Untuk
pendaftaran tanah secara sistemtis ini harus berlaku di daerah yang sudah
dilaksanakan suatu pengukuran desa demi desa, untuk desa yang belum
dilaksanakan suatu pengukuran desa demi desa, maka pelaksanaan pendaftaran
hak-hak atas tanah yang bersangkutan.
Untuk desa lengkap yang berkepentingan
mengajukan permohonan pendaftaran hak-hak atas tanah (hak milik adat) harus
melampirkan tanda bukti hak dan surat
keterangan hak yang diperlukan untuk pendaftaran.
Pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik
berlalu untuk tanah yang sudah bersertifikat atau memiliki bukti kepemilikan
hak atas tanah tersifat sementara maupun yang belum memiliki bukti terhadap hak
atas tanah.
Pendaftaran sistematis bertujuan untuk memudahkan bagi
pemegang hak atas tanah untuk melakukan pendaftaran hak.
Dengan berlakunya PP No. 24 tahun 1997 tentang
pendaftaran tanah ini diharapkan permasalahan tentang informasi mengenai
pertanahan ini dapat dihindarkan kekurangan atau tidak adanya jelasnya status
kepemilikan (hak-hak atas tanah) yang ada, agar turwujud tujuan dari
undang-undang Pokok Agraria yaitu kepastian hukum hak atas tanah dan
terwujudnya unifikasi hukum pertanahan di Indonesia.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Melalui lembaga konversi hak-hak atas tanah yang ada
sebelum berlakunya UUPA disesuaikan dengan hak yang ada di UUPA. Untuk menjamin
kepastian hukum maka semua hak atas tanah harus didaftar.
Pendaftaran hak atas tanah adat menurut ketentuan PP
No. 24 Tahun 1997 adalah sebelum didaftarkan harus dikonversi terlebih dahulu.
Terhadap hak atas tanah adat yang memiliki bukti-bukti tertulis atau tidak
tertulis dimana pelaksanaan konversi dilakukan oleh Panitia Pendaftaran
ajudikasi yang bertindak atas nama Kepala Kantor Pertanahan Nasional, prosesnya
dilakukan dengan penegasan hak sedangkan terhadap hak atas tanah adat yang
tidak mempunyai bukti dilakukan dengan proses pengakuan hak.
B. Saran
1. Agar supaya pemasyarakat UUPA terus dilakukan sehingga
masyarakat mengetahui secara baik tentang peraturan pertanahan.
2. Perlu penyuluhan hukum yang sifatnya terpadu yang
dilakukan pihak Badan Pertanahan Nasional secara mandiri sehingga masyarakat
akan mengerti pentingnya sertifikat.
3. Dengan berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 hendaknya
pendaftaran tanah di Indonesia bukan diutamakan di daerah perkotaan tetapi
pendaftaran hendaknya dilakukan di desa terutama desa tingkat ekonomi lemah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, 1983, Tebaran
Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Alumni Bandung.
Bachtiar Efendie, 1983, Pendaftaran
Tanah di Idonesia dan Peraturan Pelaksananya, Alumni, Bandung.
Fausi Riduan, 1982, Hukum
Tanah Adat Multi Disiplin Pembudayaan Pancasila, Dewaruci Press, Jakarta.
Harsono Budi, 1960, UUPA Bagian
Pertama Jilid Pertama, Penerbit Kelompok Belajar “ESA”, Jakarta.
Parlindungan A.P, 1989, Hak
Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Penerbit Mandar Maju, Bandung.
____________, 1990, Komentar
atas UUPA, Penerbit Alumni, Bandung.
____________, 1990, Konversi
Hak-hak atas Tanah, Penerbit Mandar Maju, Bandung.
____________, 1990, Pendaftaran
Tanah di Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung.
____________, 1990, Berakhirnya
Hak-hak atas Tanah Menurut Sistem UUPA, Penerbit Mandar Maju, Bandung.
____________, 1991, Landreform
di Indonesia Suatu Perbandingan, Penerbit Mandar Maju, Bandung.
Ruchiyat Eddy, 1986, Politik
Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Penerbit Alumni, Bandung.