PRASETYO BERBAGI ILMU

Translate

Share


Bagaimana cara kerja GPS agar dapat menyediakan informasi lokasi ikan yang akurat bagi nelayan pancing dan pemancing rekreasi ataupun olahraga. Teknologi GPS sebagai alat bantu navigas saat ini telah berkembang pesat salah satunya GPS dapat men-trak kumpulan ikan sehingga diperolah tangkapan yang besar. Pada awal-awal sebelum teknologi GPS digunakan, pencarian ikan dilakukan dengan menandai tempat dan jalur tertentu dimana terdapat banyak ikan pada kertas/ map yang selanjutnya dapat gunakan kembali pada hari-hari berikutnya. Nelayan kemudian berpindah ke daerah lain dengan tetap manandai jalur atau tempat yang banyak terdapat ikan

Dengan adanya teknologi GPS jalur dan tempat-tempat tangkapan dapat direkam dengan mudah dan nelayan juga dapat menseting GPS agar mereka tidak tersasar sampai keluar batas laut sehingga memasuki wilayah laut negara lain. Namun demikian terkadang akurasi GPS menjadi sasaran kesalahan karena informasi posisi yang diberikan oleh GPS ternyata meleset bahkan terkadang  nelayan harus berhadapan dengan aparat dari negara lain karena dianggap telah memasuki wilayah laut mereka.   Kesalahan akurasi GPS sangat erat kaitannya dengan cuaca antariksa terutama dinamika di lapisan ionosfer karena sinyal GPS yang melawati lapisan ionosfer akan mengalami gangguan terutama saat terjadi badai ionosfer.

fish finder GPS, pada prinsipnya adalah merupakan suatu perpaduan radar portable dengan alat bantu navigasi GPS. Jenis radar yang digunakan adalah  teknologi sonar (sound navigation and ranging) yang memanfaatkan gelombang suara untuk mendeteksi objek di bawah laut. Berdasarkan spesifikasi dan jenisnya maka sonar ini dapat mendisplay objek-objek tertentu yang berada di bawah kapal/ boat. Bagaimana alat ini bekerja? Fish finder bekerja dengan cara memancarkan gelombang suara ke dalam air. Ketika gelombang tersebut membentur suatu objek maka akan dipantulkan ke fish finder yang selanjutnya pantulan tersebut diterima, diolah dan diterjemahkan menjadi data.  Secara garis besar bagian-bagian dari alat ini adalah, transmiter yang akan memancarkan gelombang suara (sound pulse), tranduser, receiver, layar monitor dan GPS.
Transmitter  membangkitkan pulsa elektrik dan dikirim ke transduser.

Transducers akan menerima impuls elektrik dari transmiter dan mengubahnya menjadi pulsa dalam frekuensi suara dan memancarkannya ke dasar laut. Pantulan dari objek-objekt yang berada dalam air, seperti batu/ karang, ikan dan benda lain akan diterima oleh receiver. Selanjutnya receiver akan menghitung waktu yang diperlukan oleh pulsa suara untuk kembali dan diproses  sebagai informasi yang ditampilkan di layar monitor. GPS akan membantu menentukan letak geografis dari posisi kapal, lokasi ikan-ikan serta merekam/ menandai spot atau tempat jalur yang banyak terdapat ikan, daerah-daerah dengan karang atau batuan terjal yang berbahaya sebagai peta dan informasi yang dapat digunakan pada hari berikutnya. Seperti disebut diawal bahwa akurasi pengukuran GPS terutama yang hanya menggunakan satu frekuensi dipengaruhi oleh dinamika ionosfer karena sinyal GPS harus melalui ionosfer untuk sampai ke penerima di bumi. Koreksi kesalahan pengukuran GPS dapat dilakukan dengan menggunakan informasi delay ionosfer yang disediakan oleh LAPAN sebagai satu-satunya lembaga penelitian yang mengkaji dinamika ionosfer di Indonesia.

sumber :  http://asnawihusin.blogspot.com/

 

Oleh : Asnawi
Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi
Ionosfer adalah bagian atas atmosfer bumi yang berion. Kerapatan elektron di ionosfer pada ketinggian dan lokasi tertentu bergantung pada fluks sinar ultra violet kuat, komposisi muatan netral dan dinamika angin netral serta medan listrik. Dinamika dan perubahan kerapatan ion dan elektron di ionosfer bervariasi sebagai respon adanya perubahan cuaca antariksa. Pengamatan ionosfer adalah bagian dari pengamatan cuaca antariksa karena perubahan ion, elektron dan arus medan listrik di ionofer menjadi indikator perubahan cuaca antariksa. Lapisan ionofer akan merespon setiap perubahan cuaca antariksa yang dipicu dari aktivitas matahari, seperti kemunculan flare, CME dan partikel berenergi tinggi yang dibawa oleh angin matahari yang masuk pada system magnetofer dan ionosfer sehingga memicu badai geomagnet dan juga badai ionofer.

Gambar 1. Sinyal satelit yang meliwati ionosfer terganggu dapat fluktuasi pada sinyal satelit
Gangguan pada ionosfer dapat menyebabkan masalah yang pada aplikasi gelombang radio seperti radio komunikasi, sistem navigasi satelit sehingga penelitian gangguan ionosfer menjadi subjek yang penting dalam kontribusi riset cuaca antariksa. Sebelum sinyal satelit mencapai bumi, maka sinyal tersebut harus melalui ionosfer dimana ionosfer yang banyak mengandung ion-ion dan elektron akan memantulkan, membelokan bahkan melemahkan gelombang radio dari satelit tersebut. Ionosfer terganggu akan menyebabkan gangguan pada putaran faraday sinyal dan sinyal juga mengalami fluktuasi secara cepat pada amplitudo dan fasa yang diterima di receiver akibat ketidakteraturan kerapatan elektron medium ionosfer. Fluktuasi ini dikenal sebagai sintilasi ionosfer.
Penelitian gangguan sintilasi ionosfer pada sinyal satelit telah dimulai tahun 1970.  Sampai saat ini telah banyak  penelitian dan metode yang dikembangkan untuk penelitian sintilasi ionosfer salah satunya adalah dengan memanfaatkan sinyal satelit GPS (Global Postioning System). Sinyal satelit GPS pada pita frekuensi L (1,5 GHz) dimanfaatkan untuk kajian perubahan kerapatan ionosfer, jumlah elektron total ionosfer (TEC, Total Electron Content) dan sintilasi ionosfer.  Fenomena sintilasi memiliki keterkaitan dengan kemunculan gelembung plasma yang terjadi setelah matahari terbenam. Proses fisis kemunculan gelembung plasma adalah ketidakstabilan Rayleigh-Taylor. Sedangkan proses kimianya dikontrol dari efek rekombinasi antara elektron dan ion positif, yang menyebabkan terjadinya gradien vertikal profil kerapatan elektron saat setelah matahari terbenam. Apabila ketidastabilan terus berlanjut maka dapat memicu  bagian bawah lapisan F ionosfer yang telah berkurang kerapatannya bergerak ke bagian atas yang lebih rapat. Fenomena pergerakan ini dikenal sebagai gelembung plasma. Saat terjadi gelembung plasma maka akan terjadi gradien keraptan elektron yang cukup tajam di ionosfer sehingga menyebabkan ketidakteraturan ionosfer dari skala kecil hingga menengah. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa gelembung pada plasma adalah identik dengan penurunan kerapatan elektron. Ketidakteraturan plasma akibat terbentuknya gelembung tersebut akan menyebabkan fluktuasi pada sinyal satelit yang melewatinya sehingga terjadi sintilasi.
Monitoring Sintilasi ionosfer
Pengamatan fenomena gangguan sintilasi ionosfer dilakukan dengan peralatan GISTM (GPS Ionospheric Scintillation and TEC Monitor) yaitu penerima GPS yang ditempatkan di Loka dan Balai pengamat dirganta milik LAPAN.

Gambar 2. Sistem perima GPS (GISTM) dan PC pemroses data yang digunakan untuk monitoring sintilasi ionosfer
Beberapa Loka dan Balai pengamat dirgantara  LAPAN serta stasiun pengamat dirgantara kerjasama antara LAPAN dan Universitas  telah dipasang GPS untuk monitoring sintilasi ionosfer diantaranya adalah Kototabang Sumatra Barat, Bandung, Pontianak, Manado (kerjasama UNSRAT-LAPAN) dan Kupang (kerjasama UNDANA-LAPAN). Lokasi dari GISTM ditunjukkan pada gambar 3. Dengan distribusi letak GISTM ini maka monitoring diharapkan dapat mencakup seluruh wilayah Indonesia. Beberapa stasiun pengamat dirgantara tersebut telah terhubung jaringan internet via VPN sehingga distribusi data dapat dilakukan dengan mudah.
 Gambar 3. Distribusi  letak GISTM dan lintasan satelitnya di seluruh wilayah Indonesia
Pengamatan kemunculan sintilasi dilakukan untuk setiap sinyal satelit yang visible dalam satu hari. Grafik pada gambar 4 adalah contoh indeks sintilasi dari 30 satelit (PRN) selama satu hari pengamatan yaitu pada tanggal 30 Maret 2012.  Setiap sinyal satelit yang ditangkap penerima GPS dalam satu hari pengamatan diberi tanda dan warna yang berbeda sehingga dapat diketahui dengan mudah sinyal satelit mana saja yang mengalami sintilasi ionosfer. Gambar 4 adalah contoh dimana kemunculan sintilasi pada kategori kuat dengan indeks S4 > 0.5. Sintilasi kuat terjadi sekitar pukul 13:00 hingga  18:00 UT atau sekitar pukul 20:00 WIB hingga pukul 01:00 WIB dini hari.  Dalam rentang waktu tersebut beberapa sinyal satelit mengalami sintilasi yaitu satelit (PRN) 4,7,11,13 dan 23.

Gambar 4. Kemunculan sintilasi kuat S4> 0.5 yang terjadi pada 30 Maret 2012  jam 19:00 – 01:00 WIB
Marfologi Sintilasi ionosfer
Untuk melihat marfologi dan karakteristik kemunculan sintilasi maka data satu tahun pengamatan dibuat dalam bentuk kontur. Dari kontur dapat dilihat perubahan kemunculan sintilasi pada setiap bulan berbanding dengan bulan lainnya. Hasil pengamatan dalam satu tahun yaitu dari bulan Januari hingga bulan Desember dalam bentuk kontur ditunjukkan pada gambar 5.  Dari gambar 5, adalah contoh kemunculan sintilasi dalam satu tahun pengamatan di Loka Kototabang tahun 2012 dimana sintilasi kuat muncul dominan  pada bulan ekuinok yaitu Maret - April dan September - Oktober.
Gambar 5. Kemunculan sintilasi ionosfer selama satu tahun pengamatan dengan kemunculan tertinggi di bulan ekuinok Maret dan September
            Peningkatan kemunculan sintilasi pada bulan ekuinoks terkait dengan terminator matahari dan meridian medan magnet yang terbentuk pada bulan-bulan tersebut. Formasi medan magnet dan terminator matahari menyebabkan arus drift dynamo EXB di lapisan F dearah ekuator sehingga meningkatkan ketidakteraturan plasma. Ketidakteraturan ini terkait juga dengan meningkatnya gelembung plasma pada bulan-bulan tersebut sehingga sintilasi intens pada bulan-bulan tersesbut.
Memonitor dan memahami ionosfer adalah hal yang cukup penting, karena ionosfer adalah bagian dari cuaca antariksa. Selain itu dengan memonitor ionosfer akan diperoleh  karakteristik dan marfologinya sehingga diperoleh informasi perubahan ionosfer dan dinamikannya yang dapat membantu dalam mitigasi gangguan pada sinyal radio maupun navigasi satelit serta pemodelannya.
 
sumber :  http://asnawihusin.blogspot.com/

 

 
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya karena mempunyai arti yang amat penting dalam penghidupan dan hidup manusia sebab tanah bukan saja sebagai tempat berdiam juga tempat bertani, lalu lintas, perjanjian dan pada akhirnya tempat manusia berkubur. Selain itu tanah memiliki lima jenis rent yaitu rent ricardian, rent lokasi, rent lingkungan, rent sosial, rent politik yang menyebabkan tanah dapat memberi manfaat kepada manusia.
Sebagaimana diketahui sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria berlaku bersamaan dua perangkat hukum tanah di Indonesia (dualisme). Satu bersumber pada hukum adat disebut hukum tanah adat dan yang lain bersumber pada hukum barat disebut hukum tanah Barat. Dengan berlakunya hukum agraria yang bersifat nasional (UU No. 5 Tahun 1960) maka terhadap tanah-tanah dengan hak barat maupun tanah-tanah dengan hak adat harus dicarikan padanannya di dalam UUPA. Untuk dapat masuk ke dalam sisem dari UUPA diselesaikan dengan melalui lembaga konversi.
Konversi adalah pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk sistem dalam dari UUPA (A.P. Parlindungan, 1990 : 1).
Untuk terjaminnya hak atas tanah maka oleh MPR dalam Repelita III telah digariskan suatu program yang harus dilaksanakan dalam pembangunan bidang pertanahan, yaitu : “Agar pemanfaatan tanah harus sungguh-sungguh membantu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, sehubungan dengan itu perlu dilanjutkan dan makin ditingkatkan penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah termasuk pengalihan hak atas tanah”. Adapun sarana pokok yang diperlukan untuk menjamin hak atas tanah adalah penataan kembali pemilikan tanah melalui pendaftaran tanah.
Pendaftaran tanah merupakan hal yang penting sebagai bukti hak yang kuat terhadap hak atas tanah untuk membuktikan sebagai pemilik hak atas tanah secara sah. Di
samping itu pendaftaran tanah yang ditentukan dalam pasal 19 UUPA (UU No. 5 / 1960) merupakan sasaran untuk mengadakan kesederhanaan hukum.
Tentang pendaftaran tanah lebih lanjut dijelaskan dalam penjelasan umum angka III alenia terakhir UU No. 5/1960 yang berbunyi : “Adapun hak-hak yang pada mula berlakunya undang-undang ini semua akan dikonversikan menjadi salah satu hak yang baru menurut UUPA”.
Jadi semua tanah baik yang dimiliki atas nama seseorang atau Badan Hukum, baik hak milik adat atau hak atas tanah menurut buku II KUHPerdata diwajibkan untuk dikonversi kepada salah satu hak-hak atas tanah menurut UUPA dan didaftarkan sehingga terwujud unifikasi dan kesederhanaan hukum dalam hukum pertanahan Indonesia sesuai dengan tujuan dari UUPA. Bahkan dalam Pasal 41 PP No. 10 tahun 1961 dan Pasal 63 PP. No. 24 Tahun 1997 akan memberikan sanksi bagi yang terlambat atau lalai untuk melakukan pendaftaran, baik pendaftaran tanah maupun pendaftaran hak atas tanah yang diakui sebelum berlakunya UUPA.
Setelah berlakunya UUPA dan PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran tanah dan kemudian telah diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997 tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak yang akan tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ataupun yang akan tunduk kepada hukum adat setempat kecuali menerangkan bahwa, hak-hak tersebut merupakan hak adat.
Mengingat pentingnya pendaftaran hak milik adat atas tanah sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah secara sah sesuai dengan Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA maka diberikan suatu kewajiban untuk mendaftarkan tanah adat khususnya hak milik adat.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian di atas yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah Bagaimana pendaftaran hak-hak atas tanah adat menurut kententuan konversi dan PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tentang Konversi
1. Pengertian dan Landasan Hukum Konversi
a. Pengertian Konversi
Beberapa ahli hukum memberikan pengertian konversi yaitu : A.P. Parlindungan (1990 : 1) menyatakan : “Konversi itu sendiri adalah pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk dalam sistem dari UUPA”.
Boedi Harsono (1968 : 140) menyatakan : “Konversi adalah perubahan hak yang lama menjadi satu hak yang baru menurut UUPA”.
Dari rumusan di atas maka dapat disimpulkan bahwa konversi hak-hak atas tanah adalah penggantian/perubahan hak-hak atas tanah dari status yang lama yaitu sebelum berlakunya UUPA menjadi status yang baru, sebagaimana diatur menurut UUPA itu sendiri, adapun yang dimaksud dengan hak-hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA adalah hak-hak atas tanah yang diatur dan tunduk pada hukum adat dan hukum Barat (BW).
Terhadap pelaksanaan konversi itu sendiri Prof. DR. A.P. Parlindungan, SH memberikan komentar sebagai berikut :
“Bahwa pelaksanaan konversi itu sendiri merupakan sesuatu yang boleh dikatakan sangat drastis, oleh karena sekaligus ingin diciptakan berkembangnya suatu unifikasi hukum keagrariaan di tanah air kita, sunggupun harus diakui persiapan dan peralatan, perangkat hukum maupun tenaga trampil belumlah ada sebelumnya”.
Walaupun pada kenyataannya UUPA telah melakukan perombakan yang mendasar terhadap sistem-sistem agraria, terdapat dalam bagian kedua dari UUPA adalah merupakan suatu pengakuan terhadap adanya jenis-jenis hak atas tanah yang lama, walaupun hak tersebut perlu disesuaikan dengan hak-hak yang ada dalam UUPA, sehingga dengan demikian tidak bertentangan dengan jiwa dan filosofi yang terkandung dalam UUPA.
b. Landasan Hukum Konversi
Adapun yang menjadi landasan hukum konversi terhadap hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960 adalah bagian kedua dari UUPA “tentang ketentuan-ketentuan konversi yang terdiri IX pasal yaitu dari pasal I sampai dengan pasal IX”, khususnya untuk konversi tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat dan sejenisnya diatur dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII ketentuan-ketentuan konversi, di samping itu untuk pelaksanaan konversi yang dimaksud oleh UUPA dipertegaskan lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 tahun 1962 dan SK Menteri Dalam Negeri Nomor 26/DDA/1970 yaitu “tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas tanah”.
Beberapa ketentuan-ketentuan konversi hak atas tanah adat :
Pasal II Ketentuan konversi berbunyi :
ayat 1 : Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1, seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, yaitu hak agrarisch eigendom, milik, yayasan, andarbeni hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan, landirijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikilir dan hak-hak lain dengan nama apapun, juga
yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat (1), kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21.
ayat 2 : Hak-hak tersebut dalam ayat 1 kepunyaan orang asing warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah sebagai yang dalam Pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
Terhadap Pasal II ketentuan konversi ini ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 19 dan Pasal 22 Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1980 dan dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1962, sehubungan dengan hal tersebut maka jelaslah bahwa untuk pengkonversian dari hak-hak yang disebut dalam Pasal II ketentuan konversi diperlukan tindakan penegasan :
a. Mengenai yang mempunyainya, untuk memperoleh kepastian apakah akan dikonversi menjadi hak milik atau tidak.
b. Mengenai peruntukan tanahnya, jika ternyata konversinya tidak bisa menjadi hak milik.
Penegasan tersebut diperlukan karena konversi dari pada hak tersebut di atas disertai syarat-syarat yang bersangkutan dengan status yang empunya dan sifat penggunaan tanah pada tanggal 24 September 1960.
Pasal VI ketentuan konversi berbunyi :
“Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 41 ayat 1 seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini yaitu : hak vruchtgebruik, gebruik, grant countroleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak berlakunya undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 yat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini”.
Dari bunyi Pasal VI ketentuan konversi tersebut maka hak-hak atas tanah seperti ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas yang berasal dari hukum adat dikonversikan menjadi hak pakai.
Pasal VI ketentuan konversi berbunyi :
Ayat 1 : Hak gogolan, pukulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak milik tersebut pada Pasal 20 Ayat (1).
Ayat 2 : Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai terebut pada Pasal 41 ayat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya undang-undang ini”.
Ayat 3 : Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap atau tidak tetap, maka menteri agrarialah yang memutuskan.
Lebih lanjut tentang hak gogolan, pekulen atau sanggan diatur dalam Pasal 20 Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1960 yang berbunyi :
(1) . Konversi hak-hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap menjadi hak milik sebagai yang dimaksud dalam Pasal VII ayat (1) Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria dilaksanakan dengan surat keputusan penegasan Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan.
(2) . Hak gogolan, sanggan atau pekulen bersifat tetap kalau para gogol terus menerus mempunyai tanah gogolan yang sama dan jika meninggal dunia gogolnya itu jatuh pada warisnya tertentu.
(3). Kepala Infeksi Agraria menetapkan surat keputusan tersebut pada ayat (1) pasal ini dengan memperhatikan pertimbangan sifat tetap atau tidak tetap dari hak gogolan itu menurut kenyataannya.
(4). Jika ada perbedaan pendapat antara Kepala Inspeksi Agraria dan Bupati/Kepala Daerah tentang soal apakah sesuatu hak gogolan bersifat tetap atau tidak tetap, demikian juga jika desa yang berangkutan berlainan pendapat dengan kedua penjabat tersebut, maka soalnya dikemukakan lebih dahulu kepada Menteri Agraria untuk mendapat keputusan.
Dalam keputusan bersama Menteri Pertanian dan Agraria serta Menteri Dalam Negeri No. SK 40/Ka/1964/DD/18/18/1/32 “tentang penegasan konversi hak gogolan tetap”, tertanggal 14 April 1964 yang menyatakan bahwa hak gogolan tetap (sanggan/pekulen) dikonversikan menjadi hak milik karena hukum sejak tanggal 24 September 1960 dan sejak itu hak tersebut tidak lagi tunduk kepada ketentuan-ketentuan peraturan gogolan, melainkan kepada peraturan agraria.
Lebih lanjut ketentuan-ketentuan tentang konversi dalam UUPA ditegaskan lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 dan SK. Menteri Dalam Negeri No. 26/DDA/1970.
Permohonan konversi dari tanah-tanah yang pernah tunduk kepada :
a. Peraturan Menteri Agraria No. 9 tahun 1958.
b. Hak atas tanah yang didaftar menurut Stb. 1873 No. 38, yaitu tentang agrarisch eigendom.
c. Peraturan-peraturan yang khusus di daerah Yokyakarta, Surakarta, Sumatera Timur, Riau dan Kalimantan Barat.
Dalam pelaksanaan konversinya diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan dengan disertai tanda bukti haknya (kalau ada disertakan pula surat ukurnya), tanda bukti kewarganegaraan yang sah dari yang mempunyai hak yang menyatakan kewarganegaraannya pada tanggal 24 September 1960 dan keterangan dari pemohon apakah tanahnya tanah perumahan atau tanah pertanian.
Pasal 3 PMPA No. 2 tahun 1962 :
Pasal ini mengatur tentang hak-hak yang tidak diuraikan dalam sesuatu surat hak tanah, maka oleh yang bersangkutan dijaukan :
a. Tanda bukti haknya, yaitu bukti surat pajak hasil bumi/verponding Indonesia atau bukti surat pemberian hak oleh Instansi yang berwenang (kalau ada disertakan pula surat ukurnya).
b. Surat keterangan Kepala Desa yang dikuatkan oleh asisten Wedana (Camat) yang :
1. Membenarkan surat atau surat bukti hak itu.
2. Menerangkan apakah tanahnya tanah perumahan atau tanah pertanian.
3. Menerangkan siapa yang mempunyai hak itu, kalau ada disertai turunan surat-surat jual beli tanahnya.
c. Tanda bukti kewarganegaraan yang sah dari yang mempunyai hak.
Dari ketentuan Pasal 3 ini, maka khusus untuk tanah-tanah yang tunduk kepada Hukum Adat tetapi tidak terdaftar dalam ketentuan konversi sebagai tanah yang dapat dikonversikan kepada sesuatu hak atas tanah menurut ketentuan UUPA, tetapi diakui tanah tersebut sebagai hak adat, maka ditempuhlah dengan upaya “Penegasan Hak” yang diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah setempat dikuti dengan bukti pendahuluan seperti bukti pajak, surat jual-beli yang dilakukan sebelum berlakunya UUPA dan surat membenarkan tentang hak seseorang dan menerangkan juga tanah itu untuk perumahan atau untuk pertanian dan keterangan kewarganegaraan orang yang bersangkutan.
Pasal 7 PMPA No. 2 tahun 1962 :
Dalam pasal ini diatur lembaga konversi lain dinamakan “Pengakuan Hak”, yang perlakuan atas tanah-tanah yang tidak ada atau tidak ada lagi tanda bukti haknya, maka yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah Pertanahan setempat, permohonan tersebut diumumkan 2 bulan berturut-turut di kantor pendaftaran tanah dan kantor Kecamatan, jika tidak diterima keberatan mereka membuat pernyataan tersebut kepada kantor BPN dan kemudian mengirimkannya kepada Kepala Kantor Wilayah Pertanian setempat, penerbitan pengakuan hak diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN, dari SK pengakuan hak tersebut sekaligus mempertegaskan hak apa yang diberikan/padanan pada permohonan tersebut, bisa saja hak milik, hak guna usaha, atau hak guna bangunan atau hak pakai (A.P. Parlindungan ; 1990 : 42).
Sedangkan pada Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Sk 26/DDA. 1970 sebagai penjelasan dari peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 dalam diktum pertamanya : menegaskan bahwa yang dianggap sebagai “tanda bukti hak” dalam Pasal 3 huruf a PMPA No. 2 tahun 1962 adalah :
a. Didaerah-daerah dimana sebelum tanggal 24 September 1960 sudah dipungut pajak (hasil) bumi (landrente) atau verponding Indonesia.
1. Surat pajak (hasil) bumi atau verponding Indonesia yang dikeluarkan sebelum tanggal 24 September 1960, jika antara tanggal 24 September 1960 dan saat mulai diselenggarakan pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 terjadi pemindahan hak (jual-beli, hibah atau tukar-menukar) maka selain surat pajak yang dikeluarkan sebelum tanggal 24 September 1960 tersebut di atas wajib disertakan juga surat-surat asli jual-beli, hibah atau tukar menukarnya yang sah (dibuat di hadapan dan disaksikan oleh Kepala Desa/adat yang bersangkutan).
2. Surat Keputusan pemberian hak oleh Instansi yang berwenang, disertai tanda-tanda buktinya bahwa kewajiban-kewajiban yang disebutkan di dalam surat keputusan itu telah dipenuhi oleh yang menerima hak.
b. Di daerah-daerah dimana sampai tanggal 24 September 1960 belum dipungut pajak (hasil) bumi (landrente) atau verponding Indonesia.
1. Surat-surat asli jual-beli, hibah atau tukar menukar yang dibuat dihadapan dan disaksikan oleh Kepala Desa/Adat yang bersangkutan sebelum diselenggarakannya pendaftaran tanah menurut peraturan pemerintah No. 10 tahun 1961 di daerah tersebut.
2. Surat Keputusan pemberian hak oleh Instansi yang berwenang, disertai tanda-tanda buktinya bahwa kewajiban-kewajiban yang disebutkan di dalam surat keputusan itu telah dipenuhi oleh yang menerima hak.
Dengan demikian dapat disimpulan bahwa seluruh hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA melalui lembaga konversi masuk kedalam sistem UUPA melalui padanannya dan setelah itu diperlakukan seluruh ketentuan-ketentuan UUPA dengan tidak perlu lagi menyebut bahwa tanah itu bekas sesuatu hak yang ada sebelum UUPA.
2. Objek dan Tujuan Konversi
a. Objek konversi
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA terdiri dari hak-hak yang tunduk pada hukum adat dan hak-hak yang tunduk pada hukum barat.
Adapun hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat adalah :
1. Hak agrarisch egeidom
Lembaga agrarisch egeidom ini adalah usaha dari Pemerintah Hindia Belanda dahulu untuk mengkonversi tanah hukum adat, baik yang berupa milik perorangan maupun yang ada hak perorangannya pada hak ulayat dan jika disetujui sebagian besar dari anggota masyarakat pendukung hak ulayatnya, tanahnya dikonversikan menjadi agrarisch ageidom.
2. Tanah hak milik, hak Yasan, adar beni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini.
Istilah dan lembaga-lembaga hak atas tanah ini merupakan istilah lokal yang terdapat di Jawa.
3. Grant Sultan yang terdapat di daerah Sumatra Timur terutama di Deli yang dikeluarkan oleh Kesultanan Deli termasuk bukti-bukti hak atas tanah yang diterbitkan oleh para Datuk yang terdapat di sekitar Kotamadya Medan. Di samping itu masih ada lagi yang disebut grant lama yaitu bukti hak tanah yang juga dikeluarkan oleh Kesultanan Deli.
4. Landrerijen bezitrecat, altijddurende erfpacht, hak-hak usaha atas bekas tanah partikelir.
Selain tanah-tanah yang disebut di atas yang tunduk pada hukum adat ada juga hak-hak atas tanah yang lain yang dikenal dengan nama antara lain ganggan bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituas dan lain-lain.
b. Tujuan konversi
Dengan diberlakukannya UUPA (UU No. 5/1960) yang menganut asas unifikasi hukum agraria, maka hanya ada satu sistem hukum untuk seluruh wilayah tanah air, oleh karena itu hak-hak atas tanah yang ada sebelum UUPA harus disesuaikan atau dicari padanannya yang terdapat di dalam UUPA melalui lembaga konversi.
Jadi dengan demikian tujuan dikonversinya hak-hak atas tanah pada hak-hak atas tanah menurut sistem UUPA di samping untuk terciptanya unifikasi hukum pertanahan di tanah air dengan mengakui hak-hak atas tanah terdahulu untuk disesuaikan menurut ketentuan yang terdapat di dalam UUPA dan untuk menjamin kepastian hukum, juga bertujuan agar hak-hak atas tanah itu dapat berfungsi untuk mempercepat terwujudnya masyarakat adil dan makmur sebagaimana yang dicita-citakan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3).
B. Tentang Pendaftaran Tanah
1. Pengertian dan Landasan Hukum Pendaftaran Tanah
a. Pengertian Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan administrasi yang dilakukan pemilik terhadap hak atas tanah, baik dalam pemindahan hak ataupun pemberian dan pengakuan hak baru, kegiatan pendaftaran tersebut memberikan suatu kejelasan status terhadap tanah.
Dalam Pasal 1 PP No. 24 tahun 1997 disebutkan pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara 8
sudah ada haknya dan hak milik atas rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Pendaftaran tanah dapat dilakukan melalui pendaftaran tanah secara sistematis dan sporadis yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua bidang tanah di suatu wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan, baik tanah dipunyai dengan suatu hak atas tanah maupun tanah negara. Yang dimaksud dengan suatu hak adalah hak atas tanah menurut hukum adat dan hak atas tanah menurut UUPA.
b. Landasan Hukum Pendaftaran Tanah
Dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria, maka dualisme hak-hak atas tanah dihapuskan, dalam memori penjelasan dari UUPA dinyatakan bahwa untuk pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud Pasal 19 UUPA, yang ditujukan kepada pemerintah agar melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum yang bersifat Recht Kadaster, untuk menuju kearah pemberian kepastian hak atas tanah telah diatur di dalam Pasal 19 UUPA yang menyebutkan :
(1). Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2). Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
(3). Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria.
(4). Dalam Peraturan Pemerintah diatas biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Kalau di atas ditujukan kepada pemerintah, sebaliknya pendaftaran yang dimaksud Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA ditujukan kepada para pemegang hak, agar menjadikan kepastian hukum bagi mereka dalam arti untuk kepentingan hukum bagi mereka sendiri, di dalam Pasal tersebut dijelaskan :
Pasal 23 UUPA :
Ayat 1 : Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 2 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
Pasal 32 UUPA :
Ayat 1 : Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.
Pasal 38 UUPA :
Ayat 1 : Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya dak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
Ayat 2 : Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhirnya.
Dari ketentuan pasal-pasal di atas dapatlah disimpulkan bahwa pendaftaran yang dilakukan oleh pemegang hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan adalah merupakan alat pembuktian yang kuat serta untuk sahnya setiap peralihan, pembebanan dan hapusnya hak-hak tersebut.
2. Tujuan Pendaftaran Tanah
Usaha yang menuju kearah kepastian hukum atas tanah tercantum dalam ketentuan-ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran tanah, dalam pasal 19 UUPA disebutkan untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak atas tanah, UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat ‘Rech Kadaster” artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum, dengan di selenggarakannya pendaftaran tanah, maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan batas-batasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa yang melekat di atas tanah tersebut.
Menurut para ahli disebutkan tujuan pendaftaran ialah untuk kepastian hak seseorang, disamping untuk pengelakkan suatu sengketa perbatasan dan juga untuk penetapan suatu perpajakan. (A.P. Parlindungan; 1990 : 6).
a. Kepastian hak seseorang
Maksudnya dengan suatu pendaftaran, maka hak seseorang itu menjadi jelas misalnya apakah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak-hak lainnya.
b. Pengelakkan suatu sengketa perbatasan
Apabila sebidang tanah yang dipunyai oleh seseorang sudah didaftar, maka dapat dihindari terjadinya sengketa tentang perbatasannya, karena dengan didaftarnya tanah tersebut, maka telah diketaui berapa luasnya serta batas-batasnya.
c. Penetapan suatu perpajakan
Dengan diketahuinya berapa luas sebidang tanah, maka berdasarkan hal tersebut dapat ditetapkan besar pajak yang harus dibayar oleh seseorang.
Dalam lingkup yang lebih luas dapat dikatakan pendaftaran itu selain memberi informasi mengenai suatu bidang tanah, baik penggunaannya, pemanfaatannya, maupun informasi mengenai untuk apa tanah itu sebaiknya dipergunakan, demikian pula informasi mengenai kemampuan apa yang terkandung di dalamnya dan demikian pula informasi mengenai bangunannya sendiri, harga bangunan dan tanahnya, dan pajak yang ditetapkan.
Untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti tersebut di atas, maka untuk itu UUPA melalui pasal-pasal pendaftaran tanah menyatakan bahwa pendaftaran itu diwajibkan bagi pemegang hak yang bersangkutan.
C. Pendaftaran Hak atas Tanah Adat Menurut Ketentuan Konversi dan PP N. 24 Tahun 1997.
Pendaftaran hak atas tanah menurut Pasal 19 UUPA ditujukan kepada pemerintah agar melakukan pendaftaran tanah-tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, sebaliknya pendaftaran menurut Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA adalah ditujukan kepada para pemegang hak agar menjadikan kepastian hukum mereka sendiri, karena pendaftaran atas setiap peralihan, penghapusannya dan pembebanannya akan banyak menimbulkan komplikasi hukum jika tidak didaftar, pada hal pendaftaran itu merupakan bukti yang kuat sebagaimana disyaratkan Pasal 23 ayat 1 bahwa hak milik demikian pula setiap peralihan hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA, begitupun dengan hak guna usaha (Pasal 32 UUPA) dan hak guna bangunan (Pasal 38 UUPA), termasuk syarat-syarat pemberiannya demikian pula setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut harus didaftar.
Dari bunyi pasal 19 UUPA tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa UUPA telah memerintahkan kepada pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah dan untuk itu diperlukan suatu Peraturan Pemerintah, sebagai implementasi dari pasal 19 UUPA tersebut dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 yaitu tentang pendaftaran tanah yang kemudian telah diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997. Produk hukum terakhir ini sama sekali tidak merubah prinsip-prinsip dasar yang telah dikembangkan oleh Paal 19 UUPA dan PP 10 Tahun 1961. Dengan adanya PP No. 24 tahun 1997 maka berlakulah suatu pendaftaran tanah yang uniform untuk seluruh wilayah Indonesia, yang mencakup hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum Barat dan hukum Adat semuanya diseragamkan artinya bukti-bukti ex BW (burgerlijk wetboek) harus
dikonversikan kepada sistem yang diatur oleh UUPA begitu juga terhadap tanah-tanah adat yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar.
PP No. 24 Tahun 1997 mengakui dengan jelas kedudukan hak milik adat baik bersifat perorangan atau kelompok. Untuk membuktikan hak milik adat masih diakui, pada waktu pendaftaran hak atas tanah secara sistematis sebagai bukti hak atas tanah adat, yaitu :
1. Surat tanda bukti hak milik dan Grant Sultan yang dikeluarkan berdasarkan peraturan Swapraja dan hak atas tanah yang lainnya yang diakui selama tidak bertentangan dengan UUPA.
2. Akta pemindahan hak dibuat berdasarkan hukum adat yang dibubuhi kesaksian oleh kepala desa.
Pasal 24 ayat (1) No. 24 Tahun 1997 menyebutkan tentang tata cara pembuktian hak-hak lama untuk keperluan pendaftaran yang berasal dari konversi dengan :
a. bukti-bukti tertulis
b. keterangan saksi dan/atas pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi, bagi pendaftaran secara sporadik cukup untuk mendaftarkan hak.
Pada ayat (2) dikatakan, apabila pembuktian di atas tidak ada lagi, maka pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih berturut-turut oleh pemohon pendaftaran tanah dengan syarat :
1. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.
2. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan atau pihak lain (Chadidjah Dalimunthe, 2000 : 136 – 137).
Sehubungan dengan kegiatan pendaftaran tanah dan pemberian sertifikat tanah oleh Pemerintah, maka dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 16 Tahun 1975 (PMDN No. 16/1975), tentang kegiatan pendaftaran tanah dan pemberian sertifikat dalam pengukuran desa demi desa menuju desa lengkap sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 yang telah diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997. Pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 16 tahun 1975 dan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/kepala Badan Pertahanan Nasional No. 3 Tahun 1995 yaitu untuk melaksanakan pendaftaran secara sistematis baik tanah yang bersertifikat maupun yang belum bersertifikat.
Pasal 16 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1995 mengatur tentang pendaftaran tanah baik yang memilki bukti hak atas tanah secara tertulis maupun bukti tidak tertulis yaitu penguasaan fisik
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara 12
atas sebidang tanah. Adapun bukti tertulis tersebut yang berlaku terhadap tanah adat, adalah ;
1. Keterangan hak milik adat dikeluarkan Daerah Swapraja
2. Grant Sultan
3. Akta pemindahan hak berdasarkan hukum adat
4. Girik.
Untuk melakukan pendaftaran tanah secara sistematik terhadap hak atas tanah yang tunduk kepada Hukum Adat dengan bukti hak atas tanah tersebut di atas, hal ini tidak terlepas dengan konversi terhadap hak atas tanah. Adapun hak yang dikonversi berlaku terhadap hukum adat dalam pendaftaran tanah, yaitu :
1. Hak milik adat
2. Grant Sultan
3. Grant lama
4. Girik
5. Hak Agrarisch eigendom
6. Hak Druwe dan Pesini
7. Hak Usaha Gogolan
8. Hak gogolan tak tetap, Pekulen dan Grant C dan D
9. Tanah Bengkok
Untuk konversi dan pendaftaran hak atas tanah yaitu Hak milik adat, Grant Sultan, Grant lama, Girik, Hak Agrarisch Eigendom, Hak Druwe, Hak Pesini dan Hak Usaha Gogolan dikonversikan menjadi hak milik atas tanah sebagaimana menurut Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria. Sedangkan hak gogolan tak tetap, hak pekulen dan Grant C dan D dikonversikan menjadi hak pakai privat dan untuk tanah bengkok akan dikonversi menjadi hak pakai khusus.
Pelaksanaan pendaftaran tanah baik dilakukan tersendiri (permohonan individu) maupun dilakukan secara sistematis (massal) terhadap hak atas tanah yang tunduk kepada hukum adat yang memiliki bukti baik tertulis maupun tidak tertulis, sebelum didaftarkan harus dikonversi. Pelaksanaan konversi hak atas tanah dilakukan oleh Panitia Pendaftran ajudikasi yang bertindak atas nama Kepala Kantor Pertanahan Nasional (BPN). Sedangkan untuk tanah yang tidak mempunyai bukti tertulis dalam pendaftaran tanah secara sistematis dilakukan dengan proses pengakuan baik.
Pelaksanaan konversi dan pengakuan hak terhadap hak atas tanah adat oleh Pemerintah dibentuk format yang baku oleh Badan Pertanahan Nasional. Untuk pendaftaran tanah secara sistemtis ini harus berlaku di daerah yang sudah dilaksanakan suatu pengukuran desa demi desa, untuk desa yang belum dilaksanakan suatu pengukuran desa demi desa, maka pelaksanaan pendaftaran hak-hak atas tanah yang bersangkutan.
Untuk desa lengkap yang berkepentingan mengajukan permohonan pendaftaran hak-hak atas tanah (hak milik adat) harus melampirkan tanda bukti hak dan surat keterangan hak yang diperlukan untuk pendaftaran.
Pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik berlalu untuk tanah yang sudah bersertifikat atau memiliki bukti kepemilikan hak atas tanah tersifat sementara maupun yang belum memiliki bukti terhadap hak atas tanah.
Pendaftaran sistematis bertujuan untuk memudahkan bagi pemegang hak atas tanah untuk melakukan pendaftaran hak.
Dengan berlakunya PP No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah ini diharapkan permasalahan tentang informasi mengenai pertanahan ini dapat dihindarkan kekurangan atau tidak adanya jelasnya status kepemilikan (hak-hak atas tanah) yang ada, agar turwujud tujuan dari undang-undang Pokok Agraria yaitu kepastian hukum hak atas tanah dan terwujudnya unifikasi hukum pertanahan di Indonesia.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Melalui lembaga konversi hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA disesuaikan dengan hak yang ada di UUPA. Untuk menjamin kepastian hukum maka semua hak atas tanah harus didaftar.
Pendaftaran hak atas tanah adat menurut ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 adalah sebelum didaftarkan harus dikonversi terlebih dahulu. Terhadap hak atas tanah adat yang memiliki bukti-bukti tertulis atau tidak tertulis dimana pelaksanaan konversi dilakukan oleh Panitia Pendaftaran ajudikasi yang bertindak atas nama Kepala Kantor Pertanahan Nasional, prosesnya dilakukan dengan penegasan hak sedangkan terhadap hak atas tanah adat yang tidak mempunyai bukti dilakukan dengan proses pengakuan hak.
B. Saran
1. Agar supaya pemasyarakat UUPA terus dilakukan sehingga masyarakat mengetahui secara baik tentang peraturan pertanahan.
2. Perlu penyuluhan hukum yang sifatnya terpadu yang dilakukan pihak Badan Pertanahan Nasional secara mandiri sehingga masyarakat akan mengerti pentingnya sertifikat.
3. Dengan berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 hendaknya pendaftaran tanah di Indonesia bukan diutamakan di daerah perkotaan tetapi pendaftaran hendaknya dilakukan di desa terutama desa tingkat ekonomi lemah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, 1983, Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Alumni Bandung.
Bachtiar Efendie, 1983, Pendaftaran Tanah di Idonesia dan Peraturan Pelaksananya, Alumni, Bandung.
Fausi Riduan, 1982, Hukum Tanah Adat Multi Disiplin Pembudayaan Pancasila, Dewaruci Press, Jakarta.
Harsono Budi, 1960, UUPA Bagian Pertama Jilid Pertama, Penerbit Kelompok Belajar “ESA”, Jakarta.
Parlindungan A.P, 1989, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Penerbit Mandar Maju, Bandung.
____________, 1990, Komentar atas UUPA, Penerbit Alumni, Bandung.
____________, 1990, Konversi Hak-hak atas Tanah, Penerbit Mandar Maju, Bandung.
____________, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung.
____________, 1990, Berakhirnya Hak-hak atas Tanah Menurut Sistem UUPA, Penerbit Mandar Maju, Bandung.
____________, 1991, Landreform di Indonesia Suatu Perbandingan, Penerbit Mandar Maju, Bandung.
Ruchiyat Eddy, 1986, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Penerbit Alumni, Bandung.

 

iklan

PENGUNJUNG HARI INI

KOMENTAR