Pemberlakuan UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang diundangkan pada 14 Januari 2012
masih memberikan pilihan kepada investor ataupun instansi terkait.
Dalam hal ini, instansi bisa tetap menggunakan aturan lama atau memakai aturan perundang-undangan baru tersebut.
Kepala Badan Pertanahan Nasional, Joyo Winoto mengatakan
hal itu telah diatur dalam pasal transisi. Pemilihan untuk menggunakan
UU itu ketika lahan sudah terbebaskan meski masih di bawah 10% sangat
bergantung pada instansi, atau investor yang akan menggunakan.
Bila investor ingin proses pembebasan lahan menggunakan UU baru,
sambungnya, harus mengikuti aturan tersebut secara penuh yakni memulai
kembali proses pembebasan lahan dari awal musyawarah penentuan harga
dengan masyarakat.
Memang terkesan mengulang-ulang, tetapi UU tersebut lebih memberikan
kepastian waktu terhadap masa pembebasan lahan kepada para pengguna yang
ditargetkan selama 2 tahun.
“Intinya di UU mengatur tentang masa transisi. Bila proses pembebasan
lahan sudah jalan ada dua pilihan, tetap pakai aturan yang lama atau
kalau lebih baik pakai UU baru tapi mulai dari awal. Bergantung instansi
yang menggunakannya,” ujar Joyo, ditemui seusai Rapat Umum Pemegang
Saham Luar Biasa PT Jasa Marga, Senin 30 Januari 2012.
Menurut dia, UU itu sebetulnya sudah dapat diberlakukan sejak
diundangkan menjadi UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan Bagi Kepentingan Umum. Namun, implementasi penuh baru dapat
digunakan setelah terbitnya peraturan presiden (perpres)
termasuk juga tentang masa transisi, dan ganti rugi kepemilikan lahan.
Joyo menambahkan BPN bersama pemerintah dan instansi terkait terus
melakukan pertemuan khusus untuk mematangkan Perpres tersebut. “Dalam 2
hari ini draft awal selesai, setelah itu akan di bawah ke Kementerian,”
ujarya Joyo yang juga komisaris PT Jasa Marga.
Dia menargetkan pertengahan tahun ini Perpres yang merupakan terjemahan
dari UU No 2 tahun 2012 tersebut telah diselesaikan sehingga UU segera
dapat diimplementasikan secara keseluruhan.
Direktur Utama PT Jasa Marga Adityawarman mengatakan UU Pengadaan Tanah
tersebut belum terlalu berdampak signifikan bagi proses pembangunan
sembilan ruas tol yang telah berjalan milik Jasa Marga.
Pasalnya, dari sembilan ruas tol yang siap dikonstruksi oleh PT Jasa
Marga, tidak terlalu bermasalah dengan proses pembebasan lahan, sehingga
tidak mungkin menggunakan UU No 2 tahun 2012 karena perseroan harus
memulai kembali dari nol.
Sementara, sejauh ini sudah banyak ruas jalan tol yang pembebasan lahan
sudah hampir selesai. Memang masih ada beberapa yang baru memulai tahap
proses pembebasan tanah, tetapi semuanya telah melalui masa musyawarah
mufakat dengan masyarakat setempat.
“Kalau mau pakai itu [UU No 2 tahun 2012], ulang dari bawah lagi. Kalau
bisa ikut menggunakan UU di titik tertentu tanpa harus mengulang, tentu
akan pakai itu. Namun kalau dari awal lagi, ya nggak rampung-rampung,”
tuturnya.
Direktur Pengembangan Usaha PT Jasa Marga Abdul Hadi menambahkan Jasa Marga tengah mengerjakan sembilan ruas tol sepanjang 215 km dengan total investasi Rp24 triliun.
Ke-9 ruas itu adalah Bogor Ring Road, JORR W2 Utara, Ungaran-Bawean,
Surabaya-Mojokerto, Gempol-Pandaan,Gempol-Pasuruan, dan ruas tol
Benoa-Ngurah Rai-Nusa Dua yang dalam proses konstruksi.
Adapun dua dari sembilan ruas jalan tol baru yang dimiliki Jasa Marga,
yakni Serpong-Kunciran dan Kunciran-Cengkareng masih dalam proses
pembebasan lahan pada tahun ini
“Saat ini Jasa Marga telah mengoperasikan jalan tol sepanjang 544 km
atau 73% dari seluruh ruas jalan tol yang beroperasi.
Peta Pendaftaran merupakan peta
tematik, adalah peta yang menginformasikan mengenai bentuk, batas,
letak, nomor bidang dari setiap bidang tanah dan digunakan untuk
keperluan pembukuan bidang . Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 1 ayat 15
PP24/1997 dan pasal 141 PMNA/KBPN No. 3/ 1997.
Peta
pendaftaran dibuat dengan skala 1 : 1.000, 1 : 2.500, dan 1 : 10.000,
sesuai dengan fungsinya sebagai pembukuan bidang-bidang tanah dan
mencegah terjadinya pendaftaran ganda, maka peta pendaftaran harus
digunakan sebagai peta yang berkembang (tumbuh/ up-to date). Dengan
demikian setiap perubahan, penambahan bidang-bidang tanah yang tercakup
pada suatu lembar peta pendaftaran harus digambar pada peta tersebut.
Unsur
bangunan pada peta pendaftaran tidak merupakan keharusan untuk
dipetakan, kecuali unsur tersebut merupakan bagian data yang penting
atau dapat digunakan untuk rekonstruksi batas bidang tanah jika
diperlukan (pasal 141) .
Nomor
identifikasi bidang (NIB) digunakan sebagai identifier untuk dapat
berhubungan atau korelasi dengan data lain yang menyangkut satu bidang
atau bidang-bidang tanah (pasal 21 PP24/1997 dan pasal 142 ayat 3).
Dalam peta pendaftaran hanya ditulis 5 (lima) digit terakhir mengingat
batas wilayah administrasi telah dicantumkan.
Peta
pendaftaran yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari di Kantor
Pertanahan haruslah peta dalam satu sistim koordinat tertentu dan
format peta tertentu.
Sistim
koordinat tertentu artinya untuk suatu peta pendaftaran hanya
menggunakan sistim koordinat lokal atau nasional. Semua bidang tanah
yang tercakup pada lembar peta harus dapat dipetakan sesuai keadaan
dilapangan. Sehingga pada suatu lokasi administrasi desa/ kelurahan
tidak perlu lagi menggunakan banyak peta dengan banyak sistim
koordinat, tetapi hanya ada satu sistim koordinat yaitu lokal/
nasional. Apabila menggunakan sistim lokal, maka harus ditransformasi
ke sistim nasional.
Diagram 7-1
Penyatuan sistim peta pendaftaran
Format
peta tertentu artinya, peta pendaftaran yang menggunakan format
seperti yang ditentukan oleh peraturan ini. Peta pendaftaran yang masih
menggunakan format lama disalin menjadi peta pendaftaran format yang
telah ditetapkan pada saat transformasi koordinat ke sistem nasional.
Diagram 7-2
Perubahan format lembar peta pendaftaran
Dasar
pembuatan peta pendaftaran adalah peta dasar pendaftaran (pasal 16
ayat 4 PP24/1997), dimana hasil pengukuran bidang-bidang tanah
dipetakan/ dikartir diatas peta dasar pendaftaran yang berupa drafting
film atau sepia .
Sebelum digunakan peta dasar pendaftaran harus terdiri atas 2 (dua) set peta, dimana :
1 (Satu) set peta dasar pendaftaran yang di sahkan penggunaannya digunakan sebagai dokumen dan harus disimpan .
1 (satu) set lainnya di sahkan penggunaannya menjadi peta pendaftaran
dengan mencoret kata Dasar yang akan digunakan untuk pembukuan
bidang-bidang tanah terdaftar.
Material
yang digunakan adalah bahan yang sangat stabil, kuat dan tahan lama,
misalnya drafting film, sepia atau bahan-bahan transparan lainnya.
Diagram 7–4
Penggunaan peta dasar Pendaftaran
Kriteria peta dasar pendaftaran agar dapat digunakan sebagai peta pendaftaran :
Berupa peta garis atau peta foto. Jika tersedia peta foto, untuk salinan (lembar kedua) di tracing/ disalin menjadi peta garis.
Kesalahan planimetris 0.3 mm x skala peta
Skala, sistim koordinat dan format peta harus memenuhi persyaratan dan peraturan yang berlaku.
Apabila tersedia peta dasar pendaftaran dengan skala selain yang
ditetapkan ditransformasi ke salah satu skala peta pendaftaran yang
telah ditetapkan. Peta yang dihasilkan oleh BPN atau instansi lain, baik
skala, format dan sistim koordinatnya masih belum sesuai, diusahakan
untuk dibuat atau ditransformasi sesuai peraturan.
Sistim koordinat nasional/ lokal.
Sistim koordinat lokal harus di transformasi ke sistim koordinat
nasional jika telah tersedia titik-titik dasar teknik nasional.
Format peta nasional atau sistim lokal. Jika format peta masih sistim lokal, harus dibuatkan ke dalam sistem nasional bersamaan pada saat transformasi peta.
Peta
dasar pendaftaran yang memenuhi kriteria diatas akan berubah fungsi
menjadi peta pendaftaran setelah di sahkan dan selanjutnya disebut
peta pendaftaran.
Pemetaan bidang-bidang tanah pada peta pendaftaran dilakukan dengan mengkartir atau memetakan data dari :
Gambar ukur sistematik
Gambar ukur sporadik
GIM, hasil pemetaan indeks grafis
Data tersebut dikartir atau disalin pada peta pendaftaran, sebagaimana skema berikut :
Diagram 7-5
Alur kerja Pembuatan Peta Pendaftaran tersedia peta dasar
Dari diagram diatas :
Hasil pengukuran baik sporadik ataupun sistematik dikartir pada peta pendaftaran.
GS/SU dari pelaksanaan GIM disalin pada peta pendaftaran.
Pengkartiran
dan penyalinan data tersebut dapat dilaksanakan secara manual ataupun
digital, demikian juga sistim koordinatnya mengikuti sistim koordinat
yang ada (nasional/lokal).
Peta pendaftaran yang masih menggunakan sistim koordinat lokal dan
format lokal ditransformasikan ke sistim nasional dan formatnya diubah
menggunakan format nasional menjadi peta pendaftaran nasional.
Sumber :
Petunjuk Teknis PMNA/ KBPN Nomor 3 Tahun 1997 Materi Pengukuran Dan Pemetaan Pendaftaran Tanah
Sebelum tahun 2002, biaya-biaya pelayanan pertanahan yang berlaku di instansi Badan Pertanahan Nasional ( BPN
) termasuk biaya sertifikasi tanah, tersebar dalam berbagai Peraturan
dan Keputusan Menteri. Namun sejak tahun 2002, Pemerintah menyatukan
dan membaharui semua biaya-biaya pelayanan pertanahan di BPN melalui Peraturan Pemerintah ( PP ) Nomor : 46 / 2002.
PP Nomor : 13 Tahun 2010.
Memasuki
tahun 2010, pada bulan Januari 2010, Pemerintah kembali mengatur dan
membaharui biaya pelayanan pertanahan dengan menerbitkan PP baru,
pengganti PP No. 46 / 2002, yaitu PP No. 13 / 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada BPN.
Adapun biaya-biaya pelayanan pertanahan ( PNBP ) pada BPN, termasuk biaya-biaya yang berkaitan dengan permohonan sertifikasi tanah, dalam PP No. 13 / 2010 secara garis besarnya antara lain terdiri dari :
Luas Tanah sampai 10 Ha ( Hektar ), Tu = ( L / 500 × HSBKu ) + Rp. 100. 000,-
Luas Tanah diatas 10 Ha s/d 1.000 Ha, Tu = ( L / 4.000 × HSBKu ) + Rp. 14. 000.000,-
Luas Tanah diatas 1.000 Ha, Tu = ( L / 10.000 × HSBKu ) + Rp. 134.000.000,
Pelayanan Pemeriksaan Tanah ( Pasal 7 ayat 1 ).
Tpa = ( L / 500 × HSBKpa ) + Rp. 350.000,- Pelayanan Pendaftaran Tanah ( Pasal 17 ayat 1 dan Lampirannya ). Pendaftaran untuk pertama kali Rp. 50.000,- Biaya Transportasi, Konsumsi dan Akomodasi (TKA - Pasal 20 ayat 2 ).
Biaya TKA, ditanggung sendiri oleh Pemohon.
Biaya Sertifikasi Tanah. Berdasarkan
point – point tersebut diatas, maka berapa besar biaya sertifikasi
tanah yang harus dibayarkan oleh Pemohon dapat dihitung, sebagaimana
contoh dibawah ini :
Tuan
A berdomisili di DKI Jakarta, baru saja membeli sebidang tanah, dengan
status tanah negara, seluas : 300 M2, seharga Rp. 100.000.000,- maka
biaya sertifikasi lewat permohonan rutin ( permohonan perorangan biasa )
untuk tanahnya adalah sebesar :
* Biaya Pengukuran : Tu = ( 300 / 500 × Rp. 80.000 ) + Rp. 100.000 =Rp.148.000,- *Biaya Pemeriksaan Tanah : Tpa = ( 300/500 × Rp. 67.000 ) + Rp. 350.000 = Rp.390.000,-*Biaya Pendaftaran Tanah untuk pertama kali : Rp. 50.000,- Jumlah ( Rp.148.000 + Rp. 390.000 + Rp. 50.000 ) = Rp. 588.000,- disetor ke Kantor Pertanahan Kab / Kota setempat ).
*Biaya Transportasi, Konsumsi dan Akomodasi (TKA ) Rp. PM ditanggung langsung oleh Pemohon ( tidak disetor ke Kantor ).
HSBKu
= Harga satuan biaya khusus kegiatan Pengukuran yang berlaku untuk
tahun berkenaan. HSBKu untuk Tahun 2010 = Rp. 80.000,- untuk tanah
Perumahan dan Rp.40.000,- untuk tanah pertanian.
Tpa = Tarif pemeriksaan tanah oleh Panitia A. HSBKpa = Harga satuan biaya khusus kegiatan Pemeriksanaan Tanah oleh Panitia A. HSBKpa untuk Tahun 2010 = Rp. 67.000,- NPOP = Nilai Perolehan Objek Pajak.
NPOPKP = Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak.
NPOPTKP = Niali Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak.
BPHTB (
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan ) sebagaimana diatur
dalam UU No. 20 / 2000 jo. UU No. 21 / 1997, adalah bea yang harus
dilunasi terlebih dahulu sebelum sertifikat tanahnya diterbitkan.
BPHTB bersifat self assesment
, artinya Wajib Pajak ( Pemohon ) menghitung sendiri dan menyetor
sendiri BPHTBnya ke Kas Negara melalui Bank – Bank milik Pemerintah.
NPOPTKP khusus untuk DKI Jakarta sebesar Rp. 60.000.000,
sedangkan untuk daerah lain, besarnya ditetapkan oleh Kanwil DIRJEND
Pajak an. Mentari Keuangan RI, berdasarkan usulan dari PEMDA Kab / Kota
setempat.
Saya mempunyai tanah yang sudah bersertipikat, karena ingin menambah modal
mengembangkan usaha. Saya berniat menjual tanah tersebut dan saya sudah
mendapatkan seseorang yang akan membeli tanah saya. Apa yang harus saya dan
calon pembeli lakukan ¿”
Apabila
sudah terdapat kesepakatan mengenai harga tanah antara penjual dan calon
pembeli, selanjutnya penjual dan calon pembeli datang ke kantor Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang akan dijual
untuk membuat akta jual beli tanah.
“Siapakah
Pejabat Pembuat Akta Tanah itu ¿ “
Pejabat
Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diangkat oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang diberi kewenangan untuk membuat
akta-akta tertentu, yaitu Akta Jual Beli, Tukar Menukar, Hibah, Pemasukan ke
Dalam Perusahaan, Pembagian Hak Bersama, Pemberian Hak Tanggungan, Pemberian
Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik dan pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak
Milik. “Didaerah tertentu kebanyakan orang yang akan membuat akta jual
beli tanah datang ke kecamatan. Apakah Camat sama dengan PPAT? “
Untuk daerah-daerah yang belum cukup jumlah
PPAT-nya, Camat dapat ditunjuk sebagai PPAT Sementara, dan untuk desa yang
sangat terpencil, Kepala Desa dapat ditunjuk sebagai PPAT Sementara. Keputusan
Penunjukkan Camat sebagai PPAT Sementara tersebut ditandatangani oleh Kepala
Kantor Wilayah setempat atas nama Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia,
sedangkan penunjukkan Kepala Desa sebagai PPAT Sementara dilakukan oleh Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, jadi hanya Camat untuk daerah
tertentu yang belum cukup PPAT-nya atau lurah/kades untuk daerah terpencil
yang ditunjuk sebagai PPAT Sementara yang dapat membuat Akta PPAT, Selengkapnya harap di Klik dibawah ini......
sesuai dengan judul, dimana Dampak Pencemaran adalah merupakan sebagai kaidah/norma maupun koridor hukum Lingkungan Hidup, dimana tetap saja terjadi pelanggaran terhadap pencemaran Lingkungan Hidup, yang sewaktu-waktu dapat mengganggu kehidupan manusia di bumi ini, seperti berbagai bencana alam yang ditimbulkan akibat pencemaran tersebut.
menggunakan teori dari H.L.A. HART yang mendifinisikan bahwa :“Bahwa suatu konsep tentang hukum yang mengandung unsur-unsur kekuasaan yang berpusat kepada kewajiban tertentu didalam Gejala hukum yang tampak dari kehidupan bermasyarakat” Kerangka dasar/Landasan Hukum adalah UU Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, yang penguasaannya ditugaskan kepada Negara Republik Indonesia, harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, TAP MPR IX/MPR/2001 Uraian 116D dan 116 E, dan Peraturan Penerintah RI No.51 Tahun 1993 tentang analisis mengenai dampak lingkungan, PP No. 51 Tahun 1993 KEPMEN LH No. 10 Th 1994 tentang Analisis mengenai dampak lingkungan (KEPMEN LH No. 11 Th 1994, KEPMEN LH No. 12 Th 1994, KEPMEN LH No. 13 Th 1994, KEPMEN LH No. 14 Th 1994, KEPMEN LH No. 15 Th 1994 ) ; KEPMEN LH No. 42 Th 1994, KEPKA BAPEDAL No. 056 Tahun 1994, KEPMEN LH No. 54 Th 1995, KEPMEN LH No. 55 Th 1995, KEPMEN LH No. 57 Th 1995, KEPMEN LH No. 39 Th 1996 dan KEPKA BAPEDAL No. 299/BAPEDAL/11/1996 tentang Pedoman Teknis Kajian Aspekl Sosial dalam Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. LIMBAH B3 (bahan berbahaya dan beracun) : PP No. 19 Th 1995, PP 12 Th 1994 tentang perubahan PP No. 19 Th 1994 ; PENCEMARAN AIR : PP RI. No. 20 Th 1990, KEPMEN LH. No. 52/MENLH/101/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair, KEPMEN LH. No. 58/MENLH/12/1995, KEPMEN LH. No. 42/MENLH/101/1996 KEPMEN LH. No. 43/MENLH/101/1996, dan PENCEMARAN UDARA : KEPMEN LH. No. 35/MENLH/101/1993, KEPMEN LH. No. Kep-13/MENLH/3/1995, KEPMEN LH. No. 50/MENLH/11/1996.
Lingkungan hidup Indonesia adalah merupakan sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek sesuai dengan Wawasan Nusantara, dan dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam UUDasar 1945, serta untuk mencapai kebahagian hidup berdasarkan Pancasila perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. Atas dasar tersebut maka perlunya melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras dan seimbang guna menunjang terlaksannya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, dimana penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Berkaitan dengan masalah tersebut dibutuhkan kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang demikian rupa sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN Tahun 1982 No. 12, Tambahan Lembaran Negara No. 3215) untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahkluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain, dengan disertai pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Oleh sebab itulah maka sangat perlu untuk dilakukannya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup sebagai upaya dasar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumber daya kedalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan, dengan mempersiapkan sumber daya yang merupakan sebagai unsure lingkungan hidup yang terdiri dari sumber daya manusia, sumber daya alam baik hayati maupun non hayati dan sumber daya buatan.
Ruang Lingkup Lingkungan Hidup, terdiri dari pendekatan Intrumental, pendekatan hukum alam, yang akan diuraikan dibaweah ini :
1. Pendekatan Instrumental.Didasari kepada asas, tujuan dan sasaran, dimana pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab Negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dimana bagi setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup dengan berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan tujuan untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, dimana pada setiap kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, karena mungkin saja pada setiap kegiatan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup tersebut.
Berdasarkan masalah tersebut diatas perlunya suatu persyaratan pada setiap usaha atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan untuk memperoleh izin melakukan usaha dan kegiatan dengan persyaratan dan kewajiban untuk melakukan upaya pengendalian dampak lingkungan hidup.
2. Pendekatan Hukum Alam.
Dalam pendekatan hukum alam tidak terlepas dari Hukum Kehutanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas hutan dan hasil hutan, dimana menurut UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (LN.8/1967, TLN. 2832), Hutan adalah suatu lapangan bertumbuh pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya yang oleh Pemerintah ditetapkan sebagai hutan, industri, kayu bakar, bambu, rotan, rumpu-rumputan dan hasil hewan seperti satwa buru, satwa elok. Berdasarkan Hukum Adat sebagai dasar pembangunan hukum, didalam mengadakan unifikasi hukum adalah tidak memilih Hukum Adat sebagai dasar utama pembangunan Hukum Tanah yang baru., yang secara sadar diadakan kesatuan hokum yang memuat lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang baik, baik yang terdapat dalam Hukum Adat maupun Hukum Baru. Pada umumnya orang melihat dan mengartikan Hukum Adat hanya sebagai hukum positif yaitu sebagai hukum yang merupakan suatu rangkaian norma-norma hukum, yang menjadi pegangan bersama dalam kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut berbeda sekali dengan norma-norma hukum tertulis, yang dituangkan dengan sengaja secara tegas oleh Penguasa Legislatif dalam bentuk peraturan perundang-undangan, norma-norma Hukum Adat saebagai hukum tidak tertulis adalah rumusan-rumusan para ahli (hukum) dan hakim.
Kajian Hukum Lingkungan Hidup, Adalah merupakan komponen aspek social yang perlu dikaji secara mendalam didalam menyusus analisis mengenai dampak lingkungan sehingga dampak negatif akibat suatu kegiatan terhadap komponen tersebut dapat dikelola dengan baik, dimana aspek social dalam analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) adalah telaah yang dilakukan terhadap komponen demografi, dan budaya serta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari komponen lain dalam penyusunan AMDAL. Dimana analisis mengenai dampak lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1993 tentang analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) adalah hasil studi mengenai dampak penting suatu atau kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan.
Atas dasar tersebutlah bahwa pedoman teknis kajian aspek social menjadi penting dalam menyusun AMDAL dan ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kajian-kajian komponen lain dengan tujuan untuk memahami dan melakukan kajian mengenai aspek-aspek social dalam penyusunan Amdal, untuk memahami segala aspek biogeofisik dan social dalam AMDAL dan untuk membantu mempermudah proses penyusunan aspek social dalam studi AMDAL.
Mengenai ruang lingkup adalah merupakan proses awal untuk menentukan lingkup permasalahan dan mengindetifikasaikan dampak penting potensial yang timbul sebagai akibat rencana usaha atau kegiatan, yang diperlukannya dua hal dalam pelingkup AMDAL yaitu :
1. Indentifikasi Dampak Potensial, dimana dalam proses indentifikasi dampak potensila dapat dipergunakan beberapa yaitu daftar uji, matrik interaksi sederhana, bagan alir, penelaahan pustaka, pengamatan lapangan, analisis isi dan interaksi kelompok,
2. Evaluasi Dampak Potensial bertujuan menyeleksi dan menetapkan komponen dampak potensial aspek social yang relevan untuk ditelaah yaitu dengan menggunakan beberapa pertanyaan,
3. Pemusatan dampak penting (focusing) yang bertujuan untuk mengelompokkan/mengkatagorikan dampak penting yang telah dirumuskan sebelumnya agar diperoleh isu-isu pokok lingkungan secara utuh dan lengkap dengan memperhatikan :
a. dampak rencana usaha atau kegiatan terhadap komponen lingkungan yang akan mengalami perubahan mendasar/dampak penting,
b. dampak rencana aspek social yang mengakibatkan timbulnya dampak penting pada aspek fisik, kimia dan biologi. Hubungan sebab akibat antar komponen dampak penting aspek social itu sendiri).
BAB II PEMBAHASAN DAMPAK PENCEMARAN TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP
A. Dampak Pencemaran Terhadap Lingkungan Hidup
Pembangunan yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, dimana proses pelaksanaan pembangunan disatu pihak menghadapi permasalahan jumlah penduduk yang besar dengan tingkat pertambahan yang tinggi, akan tetapi tersedianya sumber daya alam terbatas, atas dasar tersebut dimana pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat tersebut, baik generasi sekarang maupun generasi mendatang adalah pembangunan berwawasan lingkungan.Untuk mencapai tujuan utama tersebut, maka sejak awal perencanaan usaha atau kegiatan sudah diperkirakan perubahan rona lingkungan akibat pembentukan suatu kondisi lingkungan yang baru, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan, yang ditimbulkan sebagai akibat diselenggarakannya usaha atau kegiatan pembangunan. Atas dasar tersebutlah bahwa perlu pengaturan lebih lanjut mengenai usaha atau kegiatan yang akan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup. Maksud dari analisa mengenai dampak lingkungan kedalam proses perencanaan suatu usaha atau kegiatan tersebut, sehingga dapat diambil keputusan optimal dari berbagai alternative, karena analisis mengenai dampak lingkungan merupakan salah satu alat untuk mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan oleh suatu rencana atau kegiatan terhadap lingkungan hidup, guna mempersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negative dan mengembangkan dampak positif. Mengenai dampak lingkungan hidup dapat disebabkan oleh rencana kegiatan disegala sector seperti :
1. Bidang Pertambangan dan Energi yaitu pertambangan umum, tranmisi, PLTD/PLTG/PLTU/PLTGU, ekspoitasi, kilangan/pengolahan dan tarnmisi minyak/gas bumi,
2. Bidang Kesehatan yautu : rumah sakit kelas A/setara kelasA atau kelas I dan industri farmasi,
3. Bidang Pekerjaan Umum yaitu :pembangunan Waduk, Irigasi dan kanalilasi, jalan raya/tol, pengolahan sampah, peremajaan kota dan gedung bertingkat/apartemen,
4. Bidang Pertanian yaitu : Usaha tambak udang, sawah, perkebunan dan pertanian,
5. Bidang Parpostel seperti hotel, padang golf, taman rekreasi dan kawasan parawisata,
6. Bidang Tranmigarasi dan Pemukiman Perambahan Hutan,
7. Bidang perindustrian seperti : Industri semen, kertas pupuk kimia/petrokimia, peleburan baja, timah hitam, galangan kapal, pesawat terbang dan industri kayu lapis.
8. Bidang Perhubungan seperti: Pembangunan Jaringan kereta api, Sub Way, pembangunan pelabuhan dan badar udara,
9. Bidang perdagangan,
10. Bidang pertahanan dan keamanan seperti : Pembangunan genung amunisi, pangkalan angkatan laut, pangkalan angkatan udara dan pusat latihan tempur,
11. Bidang pengembangan tenaga nuklir seperti : Pembangunan dan pengopearian reactor nuklir dan nuklir non reactor,
12. Bidang kehutanan yaitu : Pembangunan taman safari, kebun binatang, hak pengusaha hutan, hak pengusahaan hutan tanaman industri (HTI) dan Pengusaha parawisata alam,
13. Bidang pengendalian bahan berbahaya dan beracun (B-3) dan 14 Bidang kegiatan terpadu/multisektor (wajib AMDAL).
B. Akibat Pencemaran Terhadap Lingkungan Hidup
Mengenai akibat pencemaran terhadap lingkungan hidup harus melihat kepada ukuran dampak penting terhadap lingkungan yang perlu disertai dengan dasar pertimbangan yaitu sebagai berikut : terhadap penilaian pentingnya dampak lingkungan berkaitan secara relative dengan besar kecilnya rencana usaha atau kegiatan yang berhasil guna dan daya guna, apabila rencana usaha atau kegiatan tersebut dilaksanakan dengan didasarkan pada dampak usaha atau kegiatan tersebut terhadap salah satu aspek lingkungan atau dapat juga terhadap kesatuan dan atau kaitannya dengan aspek-aspek lingkungan lainnya dalam batas wilayah yang telah ditentukan. Perlu diketahui bahwa dampak terhadap lingkungan atas dasar kemungkinan timbulnya dampak positif atau dampak negative tidak boleh dipandang sebagai factor yang masing-masing berdiri sendiri, melainkan harus diperhitungkan bobotnya guna dipertimbangkan hubungan timbul baliknya untuk mengambil keputusan. Sedangkan yang menjadi ukuran dampak penting terhadap lingkungan hidup adalah :
a. jumlah manusia jumlah manusia yang akan terkena dampak tersebut adalah pengertian manusia yang akan terkena dampak mencakup aspek yang sangat luas terhadap usaha atau kegiatan, yang penentuannya didasarkan pada perubahan sendi-sendi kehidupan masyarakat dan jumlah manusia yang terkena dampaknya tersebut, dimana manusia yang secara langsung terkena dampak lingkungan akan tetapi tidak menikmati manfaat dari usaha atau kegiatan yang telah dilaksanakan,
b. luas wilayahterhadap luas wilayah persebaran dampak adalah merupakan salah satu factor yang dapat menentukan pentingnya dampak terhadap lingkungan, dimana rencana usaha atau kegiatan mengakibatkan adanya wilayah yang mengalami perubahan mendasar dari segi intensitas dampak atau tidak berbaliknya dampak atau segi kumulatif dampak,
c. lamanya dampak berlangsung dapat berlangsung pada suatu tahap tertentu atau pada berbagai tahap dari kelangsungan usaha atau kegiatan, dengan kata lain akan berlangsung secara singkat yakni hanya pada tahap tertentu siklus usaha atau kegiatan akan tetapi dapat pula berlangsung relative lama yang akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan lingkungan hidup didalam masyarakat/manusia dilingannya yang telah merusak tatanan dan susunan lingkungan hidup disekitarnya,
d. intensitas dampak mengandung pengertian perubahan lingkungan yang timbul bersifat hebat atau drastic serta berlangsung diareal yang luas dalam kurun waktu yang relative singkat, hal ini menyebabkan terjadinya perubahan yang mendasar pada komponen lingkungan hidup yang berdasarkan pertimbangan ilmiah serta dapat mengakibatkan spesies-spesies yang langka atau endemik terancam punah atau habitat alamnya mengalami kerusakan,
e. komponen lingkungan lain yang terkena dampak, akibat rencana usaha atau kegiatan menimbulkan dampak sekunder dan dampak lanjutan lainnya yang jumlah komponennya lebih atau sama dengan komponen lingkungan yang terkena dampak primer,
f. sifat kumulatif dampak adalah pengertian bersifat bertambah, menumpuknya atau bertimbun, akibat kegiatan atau usaha yang pada awalnya dampak tersebut tidak tampak atau tidak dianggap penting, akan tetapi karena aktivitas tersebut bekerja secara berulang kaliatau terus menerus maka lama kelamaan dampaknya bersifat kumulatif yang mengakibatkan pada kurun waktu tertentu tidak dapat diasimilasikan oleh lingkungan alam atau social dan menimbulkan efek yang saling memperkuat (sinergetik) akaibat pencemaran dan
g. berbalik dan tidak berbaliknya dampak ada yang bersifat dapat dipulihkan dan terdapat pula yang tidak dapat dipulihkan walaupun dengan upaya manusia untuk memulihkannya kembali, karena perubahan yang akan dialami oleh suatu komponen lingkungan yang telah tercemar dengan kadar pencemaran yang sangat tinggi, tidak akan dapat dipulihkan kembali seperti semula.
C. Hukum Sebagai Sosial Kontrol Terhadap Pencemaran Lingkungan Hidup.
Merupakan sebagai social control terhadap akibat pencemaran lingkungan hidup, haruslah ada ketentuan peraturan dan perundang-undanag yang mengatur serta membatasi/ mencegah agar tidak terjadi pencemaran lingkungan hidup disegala aspek kehidupan manusia baik secara sadar atau tidak sadar pencemaran tersebut terjadi. Dengan berlakunya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah sebagai koridor dan paying hukum sekaligus sebagai social control terhadap dampak lingkungan hidup yang terjadi akibat suatu usaha atau kegiatan dari berbagai sektor yang menimbulkan pencemaran berupa limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) telah dibatasi undang-undang yang mengatur tentang libah tersebut adalah sebagai berikut : PP No. 19 Th 1995, PP 12 Th 1994 tentang perubahan PP No. 19 Th 1994 dan undang-undang yang mengatur terhadap Penceman Air adalah : PP RI No. 20 Th 1990, KEPMEN LH. No. 52/MENLH/101/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair, KEPMEN LH. No. 58/MENLH/12/1995, KEPMEN LH. No. 42/MENLH/101/1996 KEPMEN LH. No. 43/MENLH/101/1996, serta Pencemaran Udara : KEPMEN LH. No. 35/MENLH/101/1993, KEPMEN LH. No. Kep-13/MENLH/3/1995, KEPMEN LH. No. 50/MENLH/11/1996. Dengan berlakunya undang-undang lingkungan hidup tersebut diatas adalah merupakan sebagai paying hokum terhadap lingkungan hidup, yang sesuai dengan hukum adapt (berlaku secara nasional), hukum agrari dan hukum sosiologi yang hidup dan tumbuh didalam masyarakat. Dimana peraturan lingkungan hidup diberlakukan berdasarkan kebijakan dasar dan kebijakan pemberlakuan yang berlaku secara internal maupun eskternal, untuk melindungi kehidupan masyarakat Indonesia serta alam lingkungan Negara Indonesia agar tidak tercemar, akibat segala kegiatan/usaha dari pelaku usaha disegala sektor tersebut.
Dalam al-quran Qs.al-baqarah: 11 juga menerangkan bahwa:
Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi[24]". mereka menjawab: "Sesungguhnya Kami orang-orang yang Mengadakan perbaikan."(Qs.al-baqarah: 11)
Juga dalam Surah Ar Ruum:41-42
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: "Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)."(Qs.ar-Ruum: 41-42)
D. Sanksi Hukum Terhadap Pelanggaran Lingkungan Hidup.
Mengenai sanksi hukum terhadap pelaku pelanggaran lingkungan hidup, dari apa yang telah diatur oleh Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 mengatur mengenai sangsi berupa sanksi Administrasi diatur oleh Pasal 25 sampai dengan Pasal 27 dan sanksi Pidana diatur oleh Pasal 41 sampai dengan Pasal 48. Penggunaan sangsi administrasi adalah merupakan sebagai hukuman yang dijatuhkan bagi pelaku pelanggaran terhadap lingkungan hudup, yang berupa pencabutan perizinan usaha/kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan berakibat usaha/kegiatan tersebut berhenti secara total, dengan berkewajiban memulihkan kembali lingkungan hidup yang telah tercemar tersebut. Dapat dikenakan pula sanksi pidana adalah merupakan sebagai hukuman yang dilakukan dengan sengaja, kealpaannya atau informasi palsu melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau pengrusakan terhadap lingkungan hidup dapat di pidana penjara sekurang-kurangnya 5 tahun atau sampai seberat-beratnya15 tahun atau denda sekurang-kurangnya Rp.100.000.000,- atau sampai sebesar Rp. 500.000.000,- sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha lingkungan hidup. Telah diuraikan diatas bahwa terhadap masalah dampak pencemaran, akibat, landasan hukum serta social kontrol pencemaran terhadap lingkungan hidup adalah merupakan suatu lingkaran yang tidak terputus didalam kehidupan manusia. Jika masalah-masalah tersebut diabaiakan maka akan mengakibatkan bencana yang tidak dapat dihindari atau dicegah oleh manusia, walaupun dengan tekhnologi yang modern sekalipun, mengingat pemulihan terhadap lingkungan hidup yang telah rusak akibat pencemaran memerlukan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk melakukan tindakan pemulihkan lingkungan hidup tersebut. Walaupun sudah terdapat Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang lingkungan hidup yang merupakan sebagai payung hokum yang membatasi segala tindak tanduk pelaku usaha atau kegiatan dengan diatur pula mengenai sanksi administrative dan sanksi pidananya, akan tetapi tetap harus diperhatikan pula dengan tidankan koordinasi dengan dasar surat keputusan bersama antara menteri lingkungan hidup, Menteri dalam negeri, menteri luar negeri dan Kapolri untuk melakukan pemantauan terhadap lingkungan hidup Dan berdasarkan suatu kebijakan secara internal merupakan sebagai kewenangan Menteri Lingkungan Hidup dengan UU No. 23 Tahun 1997, akan tetapi secara eksternal harus ikut sertanya instansi-instansi yang terkait, seperti disebutkan diatas agar terciptanya lingkungan hidup yang terhindar dari pencemaran disegala sector seperti penebangan hutan baik legal maupun ilegal, pencemaran limbah kimia dari rumah sakit/pabrik kimia, pemboran gas alam dan lain-lain. Masalah ini harus dilakukan pemantauan oleh instansi terkait, yang masing-masing mempunyai tanggung jawab terhadap pencegahan pencemaran lingkungan hidup, maka akan dapat dimungkinkan akan terhindarnya dari berbagai macam bencana seperti bencana banjir, longsong, polusi terhadap bahan kimia maupun polusi udara akibat industri-industri maupun kendaran bermotor.
Sebagai upaya untuk menganalisa permasalah baik secara internal maupun secara eskternal terhadap permasalahan : bagaimanakah Pendekatan Intrumental yang berupa undang-undang dan Pendekatan Alam akibat dampak pencemaran Lingkungan Hidup dan bagaimanakah caranya untuk memperkecil akibat dampak pencemaran Lingkungan Hidup tersebut, agar terhindar dari berbagai macam bencana.
a. Menganalisa Faktor Internal
Menganalisa permasalahan secara factor intermal adalah dengan melihat kepada instrumental kepada undang-undang lingkungan hidup sebagai payung hukum dan pendekatan alam sebagai landasan dasar, Didasari kepada asas, tujuan dan sasaran, dimana pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab Negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dimana bagi setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup dengan berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pendekatan instrumental bertujuan untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, dimana pada setiap kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, karena mungkin saja pada setiap kegiatan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup tersebut. Atas masalah tersebut diatas perlunya suatu persyaratan pada setiap usaha atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan untuk memperoleh izin melakukan usaha dan kegiatan dengan persyaratan dan kewajiban untuk melakukan upaya pengendalian dampak lingkungan hidup. Dan atas dasar tersebut perlunya melakukan pengawasan dilaksanakan pengawasan terhadap setiap usaha atau kegiatan dengan menunjuk pejabat yang berwenang melakukan pengawasan terhadap lingkungan hidup dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah, yang dibentuk khusus oleh Pemerintah.
Dan secara factor internal tidaka terlepasa dari Hukum Kehutanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas hutan dan hasil hutan yang berlaku khusus terhadap biadang kehutanan dan pertanahan, dimana menurut UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (LN.8/1967, TLN. 2832), Hutan adalah suatu lapangan bertumbuh pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya yang oleh Pemerintah ditetapkan sebagai hutan, industri, kayu baker, bambu, rotan, rumpu-rumputan dan hasil hewan seperti satwa buru, satwa elok. Dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang lingkungan hidup yang berlaku secara internal terhadap pencemaran lingkungan hidup, dengan didukung oleh Peraturan Daerah setempat sesuai dengan kegiatan/usaha didalam melakukan kegiatan ekplorasi tertentu pada suatu daerah tertentu yang sudah diatur oleh Peraturan Daerah masing-masing (diatur oleh Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 adalah merupakan payung hukum secara internal terhadap kebijakan-kebijakan pemberlakuan Peraturan daerah tentang lingkungan hidup).
b. Menganilsa Faktor Eksternal
Menganalisa permasalahan secara faktor eskternal adalah dengan melihat kepada instrumental kepada undang-undang lingkungan hidup sebagai payung hukum dan pendekatan alam sebagai landasan dasar, yang secara faktor eksternal dipengaruhi ketentuan undang-undang internasional yang mengatur dan membatasi/mencegah terhadap pencemaran lingkungan hidup didunia (Organisasai Green Peace). Dimana pendekatan instrumental dan pendekatan alam yang adalah merupakan factor permasalahan yang secara eskternal dapat mengakibatkan tercemaranya lingkungan hidup alam semesta, apabila pada setiap Negara didunia tidak melakukan atau membatasi pencemaran lingungan hidup, maka akan berakibat pencemaran yang membawa bencana, seperti pemanasan global akibat perkembangan industri dunia yang sangat berkembang pesat.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada pendekatan intrumental adalah merupakan disiplin Ilmu teoritis yang umumnya mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin ilmu adalah untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari secara rasional dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat dan tidak terlepas dari pendekatan Hukum Alam. Dimana sumber daya alam berdasarkan fungsi untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam UUDasar 1945, serta untuk mencapai kebahagian hidup berdasarkan Pancasila perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dengan berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh untuk dapat memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan (seperti yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup /LN Tahun 1982 No. 12, Tambahan Lembaran Negara No. 3215).
Jelasnya bahwa pengertian lingkungan hidup itu sendiri adalah merupakan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahkluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain, dengan disertai pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Dengan berkaitan terhadap ruang Lingkup Lingkungan Hidup yang terdiri dari Pendekatan Intrumental dan Pendekatan Alam.
Kajian Hukum Lingkungan Hidup (AMDAL) yaitu : Indentifikasi Dampak Potensial, Evaluasi Dampak Potensial, Pemusatan dampak penting (focusing), dimana terdapatnya pula Dampak Pencemaran Terhadap Lingkungan Hidup, Akibat Pencemaran Terhadap Lingkungan Hidup, Hukum Sebagai Sosial Kontrol Terhadap Pencemaran Lingkunga Hidup, Sanksi Hukum Terhadap Pelanggaran Lingkungan Hidup dan Sanksi Hukum Terhadap Pelanggaran Lingkungan Hidup.
Analisa permasalahan secara faktor intermal adalah dengan melihat kepada instrumental kepada undang-undang lingkungan hidup sebagai payung hukum dan pendekatan alam sebagai landasan dasar, Didasari kepada asas, tujuan dan sasaran, dimana pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab Negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Dimana berdasarkan pendekatan instrumental bertujuan untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, dimana pada setiap kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, karena mungkin saja pada setiap kegiatan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup tersebut. Atas masalah tersebut diatas perlunya suatu persyaratan pada setiap usaha atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan untuk memperoleh izin melakukan usaha dan kegiatan dengan persyaratan dan kewajiban untuk melakukan upaya pengendalian dampak lingkungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Al-quran dan terjemahannya
www.google.co.id
Sorjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum. (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1989),
Satjipto.R. Ilmu Hukum. (Bandung, Alumni, 1982)
R.Othe Salman, Sosiologi Hukum Suatu Pengantar, (Bandung : Penerbit CV. ASrmico, 1992)
Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, (Bandung : Remadja Karya, 1985).
Soewardu. “ Sekitar Kodifikasi Hukum Nasional di Indonesia “Jakarta, 1950,
Kartohadiprodjo, Soedirman. “ Hukum Nasional” beberapa catatan, Bina tjipta,1968,
Hartono, Sunarjati. “ Capita Selecta Perbandingan Hukum”. Alumni (Stensil) Bandung, 1970
Fungsi sertifikat tanah sebagai recht cadastral perlu direvitalisasi,
bukan sekadar untuk memberikan kepastian dan jaminan hukum hak atas
tanah tetapi mestinya juga menjadi alat kendali untuk kemakmuran yang
berkeadilan bagi rakyat NKRI dan menjaga kelestarian kualitas
lingkungan hidup.
“BPN
seharusnya tidak hanya sekadar menerbitkan sertifikat tanah, tetapi
harus bisa memastikan, setiap bidang tanah dapat menjamin kelangsungan
pembangunan, kemasyarakatan dan kebangsaan yang berkelanjutan, sesuai UU
No.5 Tahun 1960 tentang Pokok - Pokok Agraria (UUPA),”
Dalam
UUD 45 mengamanatkan, negara mengatur sumber-sumber ekonomi untuk
kemakmuran rakyat yang berkeadilan dengan paham sosialisme Indonesia
dengan semangat gotong royong.
Perlunya
segera di wujudkan UU Pertanahan sebagai payung hukum bagi pelaksanaan
UUPA dan penataan kembali Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan
Pemanfaatan Tanah (P4T) berdasarkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 untuk
memberikan perlindungan rakyat miskin.
Alasannya
adalah karena UU Pertanahan memuat azas-azas, ajaran dan filosofi hukum
Pertanahan yang menjabarkan hak keperdataan orang atas tanah, sedangkan
UU Agraria/UUPA adalah peraturan pelaksanaan bagi orang dalam hubungan
pengelolaan tanah agar berhasilguna untuk dinikmati orang dan masarakat.
Karena itu pelaksanaan UUPA harus dengan acuan UU Pertanahan, sebagai
payung hukumnya, agar tidak merugikan rakyat, karena sengketa yang terus
menerus tanpa penyelesaian dengan dasar hukum yang kuat.
Indonesia
hingga kini belum memiliki UU Pertanahan yang mengatur Hukum
Pertanahannya sebagai pedoman acuan bagi pelaksanaan UUPA, maka banyak
sengketa yang tidak dapat dibedakan apakah merupakan sengketa tanah atau
agraria. Akibatnya semua sengketa diselesaikan berdasarkan kebijakan
pejabat eksekutif yang hanya mengacu pada UUPA yang lepas kendali dari
payung hukum yang seharusnya diacu yaitu Hukum Pertanahan melalui UU
Pertanahan. Karena itu banyak keputusan penyelesaian sengketa yang
justru ditolak masarakat dan menimbulkan sengekta baru, sebab
keputusannya selain tidak memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat,
juga karena para penegak hukum tidak memiliki acuan dasar untuk menilai
benar tidaknya atau adil tidaknya tuntutan dalam sengketa yang terjadi.
Perlunya aparat BPN dari pusat sampai ke Kabupaten/Kota
harus memahami esensi UUPA, agar bisa memberikan pencerahan pada
birokrasi di luar BPN dan masyarakat, serta bisa melaksanakan tugas
pokok dan fungsinya dengan benar. Karena itu aparat BPN harus memahami
anatomi pertanahan, mampu menjabarkan amanat para pendiri bangsa, bahwa
tanah sebagai perekat NKRI dan sebagai wahana kehidupan yang harmonis
bagi langgengnya Bhinekka Tunggal Ika. “Harus dipahami juga bahwa tanah
menyangkut aspek poleksosbudhankamnaskum dan teknis,”
Untuk
menjaga wilayah NKRI, BPNRI seharusnya segera memasang tugu – tugu
kadastral di wilayah perbatasan dan pulau – pulau terluar. Selain
untuk mengetahui koordinat wilayah NKRI, hal itu juga berfungsi sebagai
pengamanan hukum dan administrasi pertanahan.
Sedangkan
untuk bisa memahami anatomi pertanahan, yang digambarkan dalam database
P4T di lapangan, diperlukan program pemberdayaan masyarakat. yang
demokratis. Hal itu dilakukan dengan program Manajamen Pertanahan
Berbasis Masyarakat (MPBM), yang sudah diujicobakan di 35 desa/kelurahan
di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah itu, tahun 2006. Program itu
memberdayakan anggota masyarakat sebagai motor penggerak. “Melalui
rembug desa dibentuk Tim Sembilan, dipilih empat orang pemuda sebagai
tim pengumpul data dan lima orang tokoh masyarakat sebagai tim verfikasi
data,” t
Dalam prakteknya, masyarakat mematoki tanahnya masing-masing, BPN
Kab/Kota menyiapkan Peta Dasar/ Kerja untuk memplotting sket bidang
tanah yang dihasilkan oleh Tim Sembilan, dan mensupervisi administrasi
pertanahan di Desa/Kelurahan.
Peta
dasar diambil dari Peta Citra / Peta Google / Peta Minut Jantop AD /
Peta Kehutanan / Peta Sismiop, dan sebagainya. “Hasil pendataan bidang
tanah tersebut juga bisa digunakan kelompok masyarakat desa untuk
merencanakan optimalisasi penggunaan dan pemanfaatan tanah yang dapat
menciptakan lapangan kerja sekaligus mengentaskan kemiskinan,”
Dalam hal ini, pemerintah hanya memfasilitasi dan supervisi berupa asset reform
(sertifikasi tanah) dan akses reform, seperti permodalan, keterampilan,
produksi, industri rumah tangga, packing, pemasaran, dan sebagainya.
Tahun 2007, tiga kabupaten yakni Sragen, Purbalingga dan
Pemalang menerapkan program MPBM secara serentak di seluruh
desa/kelurahan, sementara kabupaten/kota lainya melaksanakan secara
sporadis di beberapa desa. “Tahun 2008, MPBM juga diaplikasikan di
Kabupaten Maluku Tenggara yang sarat dengan sengketa tanah ulayat. Sebab
program ini dapat mencegah dan menyelesaikan sengketa tanah yang banyak
terjadi di masyarakat,”
Sebenarnya
MPBM adalah penjabaran dari perintah Tap MPR No.IX tahun 2001 dan Kep
MPR No.V tahun 2003, dimana dalam pelaksanaan reforma agraria didahului
dengan pendataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
yang selama ini tidak pernah dilaksanakan secara konsekuen.
Hasil
MPBM juga dapat dikros-cek dengan peta aset tanah milik pemerintah,
baik dari sumber APBN/D, hasil nasionalisasi aset milik asing di era
ORLA, yaitu tanah - tanah PJKA, PTPN, PELNI, Pelabuhan dan pengawasan
tanah – tanah ex perkumpulan kelompok cina eksklusif di era ORBA (buku
merah putih) serta tanah – tanah yang dikuasai oleh TNI dan POLRI
setelah kemerdekaan.
Aset
Tanah milik atau yang dikuasai Pemerintah tersebut nantinya bisa di
manfaatkan untuk menggerakkan ekonomi nasional dengan cara
mengoptimalkan penggunaan dan pemanfaatannya mengingat lokasinya yang
kebanyakan sangat strategis. Pemanfaatan tanah tersebut bisa
diperuntukkan bagi kepentingan perlindungan rakyat miskin (pasar
tradisional, rusunewa), infrastruktur, memperbaiki kualitas lingkungan
hidup, meningkatkan ketahanan pangan, menciptakan sumber energi baru,
pembangunan transportasi massal orang dan barang (rel kereta api fourth track dari Banda Aceh sampai Banyuwangi) serta cadangan umum yang bersifat strategis bagi keperluan negara.
Untuk
melangkah ke sana, diperlukan koordinasi dan sinergitas BPNRI,
Depdagri, Depkeu, Meneg BUMN, Menhut, Mentan, Meneg Bappenas dengan
koordinasi Menko Ekuin.
Hal
itu dikemukakan, menanggapi terkaitnya kemiskinan dan kebijakan yang
menyangkut pertanahan sehingga diperlukannya intervensi politik dan
sosial untuk memecahkan kebuntuan kemiskinan dengan operasionalisasi
kebijakan yang mampu menyalurkan kreatifitas masyarakat yang memiliki
seribu strategi alternatif melawan kemiskinan, serta kaitannya dengan
penguatan solidaritas sosial.