PRASETYO BERBAGI ILMU

Translate

Share

Kejari Surabaya Pasti Ajukan Kasasi

SURABAYA - Dibebaskannya tiga staf Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surabaya oleh Pengadilan Tinggi (PT) Jatim akhirnya disikapi Kejakasaan Negeri (Kejari) Surabaya. Bahkan pihak Kejari Surabaya akan mengajukan kasasi atas vonis bebas yang dijatuhkan PT Jatim tersebut.
“Kami sangat prihatin dengan vonis bebas PT Jatim tersebut. Kami meyakini jika apa yang kami lakukan dalam menangani kasus ini sudah benar,” ujar Mukri, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya saat dikonfirmasi, Kamis (8/12).
Tiga staf BPN Surabaya yang menjadi terdakwa korupsi berjamaah pada penerbitan SHGB SPBU Marmoyo adalah mantan Kasi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor BPN Surabaya, Suwanto (kini menjabat Kepala Kantor BPN Blitar, Red). Kemudian, Kasubsi Penetapan Hak Tanah, Widoyo dan petugas pelaksana lapangan, Heny Puspasari.
Vonis yang dijatuhkan PT Jatim itu, akhirnya mengandaskan vonis Pengadilan Tipikor Surabaya. Sebelumnya Pengadilan Tipikor Surabaya memvonis Suwanto dengan hukuman 18 bulan penjara, Widoyo dengan hukuman 15 bulan penjara dan Heny dengan hukuman 12 bulan penjara. Selain itu, ketiga terdakwa saat itu juga diwajibkan membayar denda masing-masing Rp 50 juta subsider satu bulan kurungan.
Hingga saat ini, lanjut Mukri, pihaknya juga mengaku belum menerima salinan putusan tiga terdakwa korupsi tersebut secara resmi. “Jika sudah menerima salinan putusan secara resmi kami kemungkinan akan mengajukan upaya hukum,” tandasnya.
Kemungkinan upaya hukum itu dilakukan setelah pihaknya menerima salinan putusan vonis dari PT Jatim. “Kami akan pelajari dulu putusan tersebut. Jika hasilnya sudah diketahui, maka kami akan memutuskan sikap untuk kasasi,” jelasnya.
Sementara itu dalam kasus ini, terdakwa lainnya yaitu pemohon Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) SPBU Marmoyo yaitu Handoko Soleyman akhirnya dijatuhi hukuman selama empat tahun penjara oleh PT Jatim.
Terdakwa yang merugikan negara sebesar Rp 9,7 miliar itu, sebelumnya oleh hakim Pengadilan Tipikor Surabaya divonis hukuman selama 2 tahun 6 bulan penjara. Majelis hakim Pengadilan Tipikor saat itu berpendapat dalam pengajuan SHGB SPBU Marmoyo, Handoko tak memenuhi kelengkapan syarat pengajuan SHGB. Di antaranya, bukti peralihan hak lahan yang kini ditempati SPBU Marmoyo. fan

 

Perlunya Revitalisasi Fungsi Sertifikat Tanah

Posted In: . By prasetyobpn.blogspot.com

Perlunya Revitalisasi Fungsi Sertifikat Tanah




Fungsi sertifikat tanah sebagai recht cadastral perlu direvitalisasi, bukan sekadar untuk memberikan kepastian dan jaminan hukum  hak atas tanah tetapi mestinya juga menjadi alat kendali untuk kemakmuran yang berkeadilan bagi rakyat  NKRI  dan menjaga kelestarian kualitas lingkungan hidup.

“BPN seharusnya tidak hanya sekadar menerbitkan sertifikat tanah, tetapi harus bisa memastikan, setiap bidang tanah dapat menjamin kelangsungan pembangunan, kemasyarakatan dan kebangsaan yang berkelanjutan, sesuai UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok - Pokok Agraria (UUPA),”  ujar  praktisi pertanahan Bambang S. Widjanarko,  

Dalam UUD 45 mengamanatkan, negara mengatur sumber-sumber ekonomi untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dengan paham sosialisme Indonesia dengan semangat gotong royong.

Perlunya segera di wujudkan  UU Pertanahan sebagai payung hukum bagi pelaksanaan UUPA dan penataan kembali Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) berdasarkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 untuk memberikan perlindungan rakyat miskin.

Alasannya adalah karena UU Pertanahan memuat azas-azas, ajaran dan filosofi hukum Pertanahan yang menjabarkan hak keperdataan orang atas tanah, sedangkan UU Agraria/UUPA adalah peraturan pelaksanaan bagi orang dalam hubungan pengelolaan tanah agar berhasilguna untuk dinikmati orang dan masarakat. Karena itu pelaksanaan UUPA harus dengan acuan UU Pertanahan, sebagai payung hukumnya, agar tidak merugikan rakyat, karena sengketa yang terus menerus tanpa penyelesaian dengan dasar hukum yang kuat.

Indonesia hingga kini belum memiliki UU Pertanahan yang mengatur Hukum Pertanahannya sebagai pedoman acuan bagi pelaksanaan UUPA, maka banyak sengketa yang tidak dapat dibedakan apakah merupakan sengketa tanah atau agraria. Akibatnya semua sengketa diselesaikan berdasarkan kebijakan pejabat eksekutif yang hanya mengacu pada UUPA yang lepas kendali dari payung hukum yang seharusnya diacu yaitu Hukum Pertanahan melalui UU Pertanahan. Karena itu banyak keputusan penyelesaian sengketa yang justru ditolak masarakat dan menimbulkan sengekta baru, sebab keputusannya selain tidak memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat, juga karena para penegak hukum tidak memiliki acuan dasar untuk menilai benar tidaknya atau adil tidaknya tuntutan dalam sengketa yang terjadi.

Bambang juga mengatakan perlunya aparat BPN dari pusat sampai ke Kabupaten/Kota harus memahami esensi UUPA, agar bisa memberikan pencerahan pada birokrasi di luar BPN dan masyarakat, serta bisa melaksanakan  tugas pokok dan fungsinya dengan benar. Karena itu aparat BPN harus memahami anatomi pertanahan, mampu menjabarkan amanat para pendiri bangsa, bahwa tanah sebagai perekat NKRI dan sebagai wahana kehidupan yang harmonis bagi langgengnya Bhinekka Tunggal Ika. “Harus dipahami juga bahwa tanah menyangkut aspek poleksosbudhankamnaskum dan teknis,” ujar Direktur Pengolahan Tanah Negara, Tanah Terlantar & Tanah Kritis BPN RI itu.

Untuk menjaga wilayah NKRI, BPNRI  seharusnya segera memasang tugu – tugu kadastral di wilayah perbatasan dan  pulau – pulau  terluar. Selain untuk mengetahui koordinat wilayah NKRI, hal itu juga berfungsi sebagai pengamanan hukum dan  administrasi pertanahan.

Sedangkan untuk bisa memahami anatomi pertanahan, yang digambarkan dalam database P4T di lapangan, diperlukan program pemberdayaan masyarakat. yang demokratis.  Hal itu dilakukan dengan program Manajamen Pertanahan Berbasis Masyarakat (MPBM), yang sudah diujicobakan di 35 desa/kelurahan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah itu, tahun 2006. Program itu memberdayakan  anggota masyarakat sebagai motor penggerak. “Melalui rembug desa dibentuk Tim Sembilan, dipilih empat orang pemuda sebagai tim pengumpul data dan lima orang tokoh masyarakat sebagai tim verfikasi data,” tutur mantan Kakanwil BPN Jawa Tengah ini.

Dijelaskan, dalam prakteknya, masyarakat mematoki tanahnya masing-masing, BPN Kab/Kota menyiapkan Peta Dasar/ Kerja untuk memplotting sket bidang tanah yang dihasilkan oleh Tim Sembilan, dan mensupervisi administrasi pertanahan di Desa/Kelurahan.

Peta dasar diambil dari Peta Citra / Peta Google / Peta Minut Jantop AD / Peta Kehutanan / Peta Sismiop, dan sebagainya. “Hasil pendataan bidang tanah tersebut juga bisa digunakan kelompok masyarakat desa untuk merencanakan optimalisasi penggunaan dan pemanfaatan tanah yang dapat menciptakan lapangan kerja sekaligus mengentaskan kemiskinan,” tandas Bambang.

Dalam hal ini, pemerintah hanya memfasilitasi dan supervisi berupa asset reform (sertifikasi tanah) dan akses reform, seperti permodalan, keterampilan, produksi, industri rumah tangga, packing, pemasaran, dan sebagainya.

Bambang menambahkan, tahun 2007, tiga kabupaten yakni Sragen, Purbalingga dan Pemalang menerapkan program MPBM secara serentak di seluruh desa/kelurahan, sementara kabupaten/kota lainya melaksanakan secara sporadis di beberapa desa. “Tahun 2008, MPBM  juga diaplikasikan di Kabupaten Maluku Tenggara yang sarat dengan sengketa tanah ulayat. Sebab program ini dapat mencegah dan menyelesaikan sengketa tanah yang banyak terjadi di masyarakat,” tambahnya.

Sebenarnya MPBM adalah penjabaran dari perintah Tap MPR No.IX tahun 2001 dan Kep MPR No.V tahun 2003, dimana dalam pelaksanaan reforma agraria didahului dengan pendataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang selama ini tidak pernah dilaksanakan secara konsekuen.

Hasil MPBM juga dapat dikros-cek dengan peta aset tanah milik pemerintah, baik dari sumber APBN/D, hasil nasionalisasi aset milik asing di era ORLA, yaitu tanah - tanah PJKA, PTPN, PELNI, Pelabuhan dan pengawasan tanah – tanah ex perkumpulan kelompok cina eksklusif di era ORBA (buku merah putih)  serta tanah – tanah yang dikuasai oleh TNI dan POLRI setelah kemerdekaan.

Aset Tanah milik atau yang dikuasai Pemerintah tersebut nantinya bisa di manfaatkan untuk menggerakkan ekonomi nasional dengan cara mengoptimalkan penggunaan dan pemanfaatannya mengingat lokasinya yang kebanyakan sangat strategis. Pemanfaatan tanah tersebut bisa diperuntukkan bagi kepentingan perlindungan rakyat miskin (pasar tradisional, rusunewa),  infrastruktur, memperbaiki kualitas lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan pangan, menciptakan sumber energi baru, pembangunan transportasi massal orang dan barang (rel kereta api fourth track dari Banda Aceh sampai Banyuwangi) serta cadangan umum yang bersifat strategis bagi keperluan negara.

Untuk melangkah ke sana, diperlukan koordinasi dan sinergitas BPNRI, Depdagri, Depkeu, Meneg BUMN, Menhut, Mentan, Meneg Bappenas dengan koordinasi Menko Ekuin.

Hal itu dikemukakan, menanggapi terkaitnya kemiskinan dan kebijakan yang menyangkut pertanahan sehingga diperlukannya  intervensi politik dan sosial untuk memecahkan kebuntuan kemiskinan dengan operasionalisasi kebijakan yang mampu menyalurkan kreatifitas masyarakat yang memiliki seribu strategi alternatif melawan kemiskinan, serta kaitannya dengan penguatan solidaritas sosial.

 

oleh : Yulianto Dwi Prasetyo APtnh,M.H.

Keyword : control points, CORS, land parcel, BPN

Kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia salah satunya bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah yang dinyatakan dalam bentuk sertipikat. Dalam kegiatan pendaftaran tanah dilakukan pengukuran batas-batas bidang tanah dengan mengacu pada titik-titik dasar teknik yang dinyatakan dalam bentuk pilar orde 2, 3, dan 4 yang diselenggarakan oleh BPN-RI (Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia). Jumlah titik dasar yang seharusnya dibangun di Indonesia mencapai jutaan sedangkan pada kenyataannya jumlah dan sebaran titik dasar yang ada belum merata dan menjangkau seluruh wilayah. Keterbatasan jumlah titik dasar ini salah satunya dipengaruhi oleh faktor biaya pengadaan titik dasar yang tidak murah dan selanjutnya mempengaruhi waktu yang diperlukan BPN untuk melakukan sertifikasi seluruh bidang tanah di Indonesia. Untuk mengatasi keterbatasan jumlah titik dasar dan mendukung percepatan sertifikasi bidang tanah, diusulkan sistem GPS CORS (Global Positioning System Continuously Operating Reference Stations) yang berwujud sebagai titik kerangka referensi yang dipasangi receiver GPS dan beroperasi secara kontinyu selama dua puluh empat jam. Dalam penelitian ini dilakukan kajian dan analisis mengenai pemanfaatan sistem GPS CORS dalam rangka pengukuran bidang tanah secara ekonomis dan efisien. Dalam pemanfaatan sistem GPS CORS ini, BPN harus mempersiapkan hal-hal terkait seperti pengembangan sumber daya manusia dan struktur organisasi di dalam BPN agar sistem GPS CORS dapat dimanfaatkan dalam pengukuran bidang tanah.
Untuk selengkapnya mengenai apa itu GPS CORS atau GNSS CORS dapat di klik link dibawah ini :
- GNSS CORS
- GNSS Network - CORS

 

By prasetyobpn.blogspot.com

PERKABAN No 3 Tahun 2011, Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan

Untuk menangani permasalahan Kasus-kasus pertanahan yang tejadi di BPN yang susah dilaksanakan, Kepala BPN mengeluarkan peraturan ini, peraturan ini dikeluarkan karena banyak kasus kasus pertanahan yang tidak dapat diselesaikan oleh BPN, sebagai contoh ada masalah pertanahan yang pelapornya masih gadis namun pada samapai saat ini ketika dia sudah menjadi nenek-nenek dan mempunyai cucu, masalah pertanahan yang dia laporkan masih juga belum selesai

Peraturan ini berisi,
1. Standar Penyelesaian Kasus-kasus Pertanahan
2. Jenis-jenis Infomasi Kasus Pertanahan
3. Format Daftar Isian Pengelolaan Penanganan Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan
4. Keputusan BPN RI yang paling akhir dalam penyelesaian kasus pertanahan atau penyelesaian perbedaan pendapat antara pejabat BPN RI
5. Tata cara Pembatalan Sertipikat oleh BPN
6. Bantuan dan Perlindungan Hukum terhadap Aparatur BPN (keluarga besar BPN RI)
Klik link ini untuk mendownload dan melihat lengkap isi dari PERKABAN no 3 Tahun 2011
perkaban pengelolaan pengkajian dan penanganan kasus pertanahan final
Lampiran Perkaban 3 Tahun 2011

 

Menteri Agama Suryadharma Ali memimpin Sidang Itsbat penetapan 1 Syawal 1432 H di Kementerian Agama RI, Jakarta, Senin (29/8). Sidang Itsbat ini dihadiri oleh perwakilan MUI, ormas-ormas Islam, instansi terkait, tokoh-tokoh umat Islam, dan undangan lainnya.

Dalam sidang ini dijelaskan sejumlah hasil hisab dan rukyat dari berbagai wilayah di Indonesia. Berdasarkan pengamatan hilal 1 Syawal 1432 H menunjukkan hasil negatif. Hanya dua wilayah yang mengaku melihat hilal, yaitu Kudus Jawa Tengah yaitu pukul 17.09.10 detik dan Cakung Jakarta Timur pada pukul 17.05 menit.

Hal ini disampaikan oleh Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Kementerian Agama, Ahmad Djauhari, saat menyampaikan laporan hasil rukyat sebagai bahan Sidang Itsbat.

Djauhari yang juga Kepala Badan Hisab Rukyat Kemenag mengatakan, pemerintah melakukan rukyat di 96 lokasi. Sebanyak 30 lokasi di antaranya Papua, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Lampung Barat, Jambi, Sumatera Bara, dan Riau menyatakan tidak melihat hilal.
Pada akhir keputusan di tetapkan bahwa 1 Syawal 1432 H jatuh pada hari Rabu 31 Agustus 2011.

 

Kewajiban Pemasangan Tanda Batas Bagi Para Pemegang Hak Milik Atas Tanah Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Sebagai Salah Satu Sarana Pemberian Kepastian Hukum. Tesis, Yulianto Dwi Prasetyo APtnh, M.H. ( PNS di BPN Gresik Seksi Survey Pengukuran dan Pemetaan, yang disampaikan pada seminar Ilmiah Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Tahun 2011 )

Dalam rangka mencapai kepastian hukum tentang hak atas tanahnya, maka perlu diberikan penjelasan tentang arti pentingnya sertipikat tanah, yaitu sebagai alat bukti yang kuat. Dengan melaksanakan ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pelaksanaannya, diharapkan akan memberikan serta menciptakan kesadaran hukum bagi masyarakat luas, masyarakat diharapkan akan menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara, sehingga akan memberikan rasa aman, tertib, damai clan sejahtera didalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Sejalan dengan kebijaksanaan Pemerintah untuk mengatur pertanahan di Indonesia untuk kemakmuran rakyat terutama dalam Pembangunan Nasional yaitu dengan memberikan penjelasan arti pentingnya sertipikat tanah yang berfungsi sebagai alat bukti yang kuat serta dapat dijadikan agunan di Bank-Bank.

Sertipikat hak atas tanah diberikan apabila terpenuhi syarat-syarat, salah . satunya adalah pemasangan tanda batas atas bidang tanah tersebut, dan pemasangan tanda batas ini dilakukan sebelum pengukuran, maka terlebih dahulu pemegang hak atas tanah mengajukan permohonan sertipikat hams mengajukan permohonan untuk memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah.

Gunanya tanda batas tersebut adalah untuk memberikan kepastian terhadap objek tanah yang meliputi letaknya, batas-batasnya,luasnya, ada tidak bangdnan di atasnya, juga yang tidak kalah penting adalah untuk mencegah terjadinya sengketa batas dikemudian hart . Pemasangan tanda batas diatur dalam PP No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah , hal ini belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor kesadaran hukum dari Pemegang hak atas tanah, faktor kebudayaan setempat serta belum diimbangi dengan penerapan sanksi yang tegas.

Untuk mengatasi maka kepada pemegang hak atas tanah perlu diberikan penyuluhan yang kontinyu agar mereka menyadari arti pentingnya pemasangan tanda batas sebagaimana yang ditur dalam PP No. 24 Tahun 1997 dan PMNA/KBPN No. 3 tahun 1997.

 

iklan

PENGUNJUNG HARI INI

KOMENTAR